Setiap orang berhak membayangkan bagaimana pengaruh gempa terhadap sebuah pameran seni rupa. Misalnya, gempa bisa membubarkan pembukaan pameran yang sedang berlangsung secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Atau gempa bisa membuat seorang kolektor batal membeli sebuah lukisan, karena ia beserta pelukisnya tiba-tiba harus lari tunggang langgang dari ruangan tempat mereka tawar-menawar. Atau gempa juga bisa membuat semangat para pelukis menjadi tiarap dan trauma, karena semua lukisan mereka tiba-tiba hancur ditimpa reruntuhan gedung pameran itu sendiri. Singkatnya setiap orang akan membayangkan sesuai dengan alam pikirannya masing-masing, mulai dari imajinasi yang paling awam sampai dengan yang paling intelek sekali pun.
Tetapi bagaimana jika gempa itu sendiri belum terjadi? Apa pengaruh gempa yang belum terjadi terhadap sebuah pameran yang juga belum terjadi? Agaknya ini sangat jarang dipikirkan orang. Sebagian pandangan melarang keras untuk memikirkannya. Tetapi sebagian yang lain justru malah menganjurkannya, asal yang memikirkannya sudah memiliki syarat-syarat untuk itu. Menurut seorang Pikirolog (pakar terhadap hal-hal yang tak terpikirkan), setidaknya dibutuhkan 4 hal untuk ini: Pertama, yang bersangkutan tidak dalam keadaan tergesa-gesa. Karena diperkirakan dia akan marah bila diajak untuk memikirkan hal ini. Kedua, yang bersangkutan tidak mengalami gangguan pada otak, karena survey klinis neurologi membuktikan bahwa dalam kondisi demikian ia cendrung mengaburkan topik-topik yang sudah jelas kabur seperti ini. Ketiga, yang bersangkutan berjiwa dermawan. Artinya dia adalah seorang yang suka menyumbangkan pemikirannya. Diharapkan ia tetap ikhlas jika hasil pemikirannya dinilai tidak ada gunanya. Dan keempat, yang bersangkutan boleh menambahkan sendiri syarat-syarat lainnya jika ia memang membutuhkannya.
Meskipun cukup tidak masuk akal, pendapat lain menilai keempat syarat ini terlalu berlebihan dan memberatkan pihak-pihak tertentu yang tidak ingin memikirkannya. Artinya acuan ini dinilai tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sekarang. Mau tidak mau acuan ini harus direvisi total agar menjadi menarik bagi semua kalangan terbatas.
Di tengah carut marut sosial politik dan kegalauan situasi, tiba-tiba muncul tawaran lain. Keempat syarat ini ingin diciutkan menjadi satu syarat saja, yaitu: yang bersangkutan harus dalam keadaan waras. Ternyata tawaran ini malah mengejutkan dan dinilai lebih parah lagi. Bukankah yang tertarik memikirkan hal ini justru adalah orang-orang yang tidak waras? “Tidak!” kata mereka, “justru ini untuk orang yang benar-benar waras”. Akhirnya terjadi perdebatan. Oleh sebuah harian umum (Koran) masalah ini digiring menjadi sebuah polemik habisan-habisan, hingga memenuhi seluruh halaman korannya. Berbagai komentar, kritik dan caci maki berhamburan. Mendadak sekonyong-konyong bermunculan penulis-penulis baru yang tidak bisa dan tidak pernah menulis. Bermodalkan semangat yang meluap-luap tulisan mereka berkeliaran tanpa beban ke sana kemari. Akibatnya koran itu pun juga mendadak terkenal, walaupun hanya dibagi-bagikan secara gratis.
Tetapi heboh masalah itu hanya berlangsung seketika dan koran itu pun hanya menikmati ketenarannya dalam waktu yang cukup singkat. Menurut seorang Konyolog (ahli masalah-masalah konyol) koran itu berjaya tidak begitu lama: “Kalau saya tidak salah hitung hanya terbit satu kali”. Ketika ditanya bagaimana pendapatnya terhadap semua masalah yang kelihatan konyol itu, dengan enteng ia menjawab: “itu aja kok repot”.
***
Niat semula tulisan ini memang ingin menyampaikan sebuah fakta tentang pengaruh gempa terhadap sebuah pameran lukisan. Tetapi karena ditulis di Bukttinggi, disaat getaran gempa susulan masih terasa, maka kata-kata tulisan ini juga ikut bergetar dan berkecamuk ke sana kemari di luar perhitungan. Paling tidak, anggaplah itu sebagai hidangan pembuka sekedar melenturkan efek trauma kita dari berbagai bencana yang belum habis-habisnya kita alami hingga hari ini.
Beberapa waktu lalu melaui situs ini penulis pernah mengirim sebuah tulisan yang berjudul Sighi art Gallery Sesaat Lagi, yang intinya adalah memberitahukan bahwa akan diresmikan sebuah Gallery baru di Bukittinggi pada bulan April 2007 mendatang. Beberapa perupa asal Sumatera Barat sudah diberikan undangan keikut-sertaan pameran ini, dengan batas pengiriman data dan karya paling lambat tanggal 1 April 2007. Tetapi pada tanggal 7 Maret 2007 lalu (hari kedua setelah gempa kuat mengguncang Sumatera Barat, terutama Bukittinggi dan sekitarnya), penulis menerima sms dari Mikke Susanto, kurator pameran ini: “…Mungkin rencana pameran akan diundur. Situasi tidak menentu, kan?” Kemudian empat hari berikutnya (11 Maret 2007) juga menyusul sms dari Iswandi, sekretaris kepanitiaan pameran ini: “…nampaknyo pameran kito di Sighi art Gallerry diundur sampai Juli. Ndak memungkinkan manjalankan proposal kini-kini doh” .
Ini membuktikan bahwa sebuah bencana memang berdampak langsung pada segenap aktivitas kebudayaan. Jangankan sebuah pameran, sebuah kebudayan dan peradaban raksasa pun bisa luluh-lantak dan lumat seketika. Gempa dengan kekuatan 6,8 Skala Richter jelas bukan sebuah guncangan biasa. Ribuan rumah, gedung dan sejenisnya hancur dan sebagian rata dengan tanah. Beberapa infra struktur rusak berat. Lebih dari 70 orang meninggal dunia dan ratusan lainya menderita sakit dan cedera. Agaknya ini bukan sekedar isyarat betapa dahsyatnya sebuah gejala alam, tetapi juga merupakan sebuah teguran moral dan penggugah kesadaran. Jangan-jangan ada sesuatu yang sudah melampaui batas.
Mungkin ini saatnya untuk jeda sejenak. Siapa tahu optimisme dan progresifisame yang berlebihan selama ini hanya sebuah ketidak-berdayaan yang menyamar, yang dihembus-hembuskan, yang dibesar-besarkan dan yang akhirnya ternyata tidak berarti apa-apa. Apakah ini sebentuk isyarat betapa sebuah harmoni kehidupan jauh lebih bermakna ketimbang sebuah kemajuan fisik yang melesat kencang? Paling tidak, setiap langkah mesti melewati perhitungan yang cermat sebelum buru-buru melompat apalagi berlari begitu kencang.
Melalui kesempatan ini rencana pameran lukisan Grand Opening Sighi art Gallerry pda bukan April 2007 mendatang dinyatakan diundur secara resmi hingga situasi kembali pulih dan kondusif. Mudah-mudahan bulan Juli merupakan langkah yang tepat untuk memulainya kembali. Pada kesempatan ini sekaligus segenap panitia dan kru pameran Sighi art Gallery menyampaikan maaf dan mohon maklum kepada para perupa yang menerima undangan sebagai peserta pameran ini, yang bisa jadi sudah di buru-buru waktu dalam menyelesaikan karyanya, termasuk juga kepada para pemerhati, pengamat, kolektor dan siapa saja yang berempati terhadap pameran ini. Alih-alih akan melunturkan semangat kita semua, semoaga kondisi ini justru bisa menjadi ancang-ancang yang lebih kuat bagi kita untuk tetap bangkit dan kembali berkiprah di masa mendatang. Semoga!
Bukittinggi, 12 April 2007
Erianto Anas
(Guru Seni Rupa SMK N 1 Ampek Angkek) |