Lazimnya, Koor merupakan istilah yang dinisbatkan pada kelompok paduan suara (vocal group), dimana para pesertanya saling melantunkan suara, nada, rasa, bahkan gerak bila perlu, secara bersama. Keragaman warna, tipe dan teknik pengolahan suara mereka sengaja ditata dalam satu arah, nilai dan citra tertentu.
Dalam pameran ini, koor juga dimaksudkan dalam pengertian senada. Keenam personil kelompok seni Pentagona+ ini (Amrianis, Dwi Agustyono, Herisman Tojes, Irwandi, Nasrul dan Zirwen Hazry) menggelar masing-masing karyanya dalam satu tatanan visual. Tetapi Koor Pentagona+ di sini bukan berarti meniadakan keragaman menjadi satu rupa tunggal, dan juga bukan hadir untuk saling menabrak. Koor di sini identik dengan pengelolaan sebuah pluralisme kreativitas. Segenap perbedaan dan keragaman ungkapan estetik ke enam perupa ini sengaja di tampilkan menjadi satu harmoni. Hasilnya bisa membentuk sebuah bentangan keragaman dan kekayaan rupa yang saling melengkapi, saling mengisi dan membangun satu tatanan visual secara menyeluruh.
Sejalan dengan itu, Pameran Lukisan Koor Pentagona+ ini juga dimaklumi sebagai sebuah perayaan kebebasan kreativitas para seniman rupa ini. Setiap ungkapan visual mereka, dengan kecendrungan yang amat personal sekalipun, mendapat tempat, apresiasi dan pengakuan yang setara. Ini berarti bahwa hegemoni apalagi keangkuhan gaya tertentu tidak lagi mendapat tempat. Artinya dari sudut kreativitas, posisi mereka tetap berada di wilayah privatnya masing-masing. Tetapi dari bingkai (tema) pameran ini, mereka tentu berada di luar cangkang personalnya. Segenap keunikan dan keragaman mereka mencair, saling mengisi ruang-ruang visual yang dibangun secara bersama. Jadi Koor di sini pada prinsipnya lebih mengacu pada inti semangat bahwa mereka sama-sama aktif berproses, mengeskpresikan ungkapan estetiknya, mencipta karya rupa, dan secara akumulatif berarti sama-sama melantunkan sebuah irama rupa, sebuah paduan visual secara bersama.
***
Amrianis
Seperti biasa, umumnya karya-karya Amrianis menunjukkan kecendrungan pada corak surrealis. Bentangan realitas yang digambarkan bukan lagi dalam setting landscape biasa, sebagaimana lazimnya dalam kenyataan sehari-hari. Berbagai aspek yang menjadi ciri realitas sehari-hari (seperti perspektif dan relasi antar objek) sudah ditata dengan cara baru, sesuai citra dan kehendak perupa, yang pada intinya konsekuensi dari visualisasi pesan yang hendak diusung. Meminjam ungkapannya sendiri: sebagai media komunikasi, sebuah karya seni rupa (murni) mesti mengusung sebuah isu. Apa artinya sebuah karya jika tidak menyatakan apa-apa?
Pada pameran ini karya-karyanya tampil dengan judul Tetaer Malin Kundang, Hegemokrat, Sisa yang Tersisa, dan Rayuan Pulau Kelapa. Secara visual, tampaknya ada semacam metamorfosis (perubahan bentuk dan tampilan) pada karya-karya ini. Mulai dari kehadiran objek yang cukup riuh, sedikit heroik, full area, full colour, secara berangsur-angsur pada karya berikutnya tampak makin menyusut dan pada karya terakhir malah menjadi sangat minimal (dengan komposisi yang juga tidak lazim). Meskipun bisa dianggap sebagai sikap dan konsepsi kekaryaan yang belum terstruktur dan konsisten, ini tentu sesuatu yang bisa dipahami dan tidak terelakkan dalam sebuah proses kreatif, yang lazimnya memang selalu gerah dan aktif mencari hal-hal baru.
Pada intinya karya-karya Amrianis ini menyorot berbagai kesenjangan dan kritik sosial politik. Teater Malin Kundang misalnya, merupakan sebuah gugatan atas wacana Malin Kundang yang lazim dipahami selama ini. Di sini, Amrianis menggambarkan bahwa kisah Malin Kundang bukanlah kisah kedurhakaan seorang anak, melainkan sebuah perebutan kekuasaan bahkan pertarungan antar seorang ibu dan isteri terhadap si Malin. Kemudian pada Hegemokrat, ia mengambarkan sebuah stratafikasi posisi tawar. Sebuah isu demokrasi, birokrasi, otoritas dan sejenisnya pada intinya tak lebih dari sebuah hegemoni atas lapisan yang posisi tawarnya rendah bahkan tertindas. Dan pada Sisa dari yang Tersisa tampak melambangkan sebuah keprihatinan terhadap kesenjangan sosial yang amat tajam dan tidak manusiawi, yang digambarkan dengan seorang perempuan tua (simbolisasi kaum marginal) yang hanya menyauk, mengais sisa-sisa dari yang tersisa..
Dwi Agustyono
Perupa yang muncul sejak tahun 2000 ini tergolong amat produktif. Hingga kini jumlah karyanya sudah mencapai hitungan lebih dari 100. Secara visual, umumnya karya-karyanya tampak sangat molek. Ini ditunjang oleh permainan warnanya yang segar dan komposisi objek yang dinamis. Tampilan karya-karyanya seakan menggambarkan begitu asyiknya ia mengutak-atik bentuk-bentuk sederhana (seperti kubus, bola-bola, tabung, pipa, tali temali dan sejenisnya) sebagai objek utama karya-karynya. Namun demikian bukan berarti serta merta karya-karyanya juga bermakna sederhana. Justru di balik objek-abjek sederhana itu bercokol berbagai imajinasi, gegasan, refleksi bahkan juga kritik sosial yang cukup pedas.
Kali ini karya-karyanya tampil dengan judul Kehilangan Hakikat dan Well Come. Judul karya ini menyiratkan sebuah refleksi yang cukup dalam. Pada hal secara visual, karya ini menggambarkan permainan bulatan-bulatan, tabung, jaringan pipa, dan deformasi sebagian anatomi tubuh manusia. Tetapi itulah bahasa visual khas milik Dwi Agustyono. Semua itu merupakan setumpuk simbol, rangkaian jejaring semiotik yang mengandung pesan yang tidak sederhana. Kedua karya ini merupakan abstraksi dari kritik atas sikap dan prilaku yang tidak pada tempatnya dalam menilai, menghargai dan menempatkan sesuatu yang amat vital dan berharga dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada Kehilangan hakikat misalnya, digambarkan betapa suatu bagian yang amat berharga sekali pun bila di sia-siakan pada hakikatnya juga kesia-siaan bagi yang lainnya. Begitu juga pada Well Come, sebuah tema yang amat kontekstual, yang menyorot betapa tidak strategisnya posisi dan keberadaan patung selamat datang di Jakarta saat ini karena telah tersembunyi di balik lalu lintas jalan layang yang melayang ke sana kemari di angkasa.
Herisman Tojes
Berbeda dengan sosoknya yang tegap, umumnya karya-karya perupa ini justu menampilkan kesan yang lembut, baik dari segi warna, goresan maupun iramanya. Meskipun sudah aktif berkarya sejak tahun 1980, kesan itu tetap tergambar pada karya-karyanya hingga hari ini.
Kali ini ia tampil dengan karyanya yang berjudul Selaput Terawang Putih #2, Denyut, dan Legislasi. Tampilan karya-karya ini seakan menunjukkan kecendrungan Tojes yang kian minimal. Hanya ada setumpuk objek ditengah bidang kanvas. Latar yang biasanya terbagi dalam bidang-bidang liris cukup ramai, kini hanya dibagi menjadi beberapa bidang besar, dengan gradasi warna yang nyaris sama. Secara keseluruhan karya-karya ini menggunakan gradasi warna monochrome abu-abu kehitaman. Sedangkan konsentrasi pada objek kini tampak kian memberat, yang diperkaya dengan teknik garapan yang lazim digunakan pada lukisan bergaya abstrak.
Secara tematik, pada intinya Tojes mengangkat fenomena seputar feminiminitas, genital dan sesksualitas perempuan, dimana lazimnya hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat halus, lembut bahkan juga lemah. Tetapi Tojes melihatnya dari sisi yang berbeda. Baginya justru ada energi besar, ada dinamika yang luar biasa tersimpan dibalik semua itu. Pada Denyut misalnya, tampak bagaimana ia menggambarkan betapa sebuah energi berproses, tumbuh dan terus berkembang dalam rahim perempuan, yang lazim kita kenal sebagai cikal bakal kehidupan. Demikian Tojes melihat sampel kekuatan tersembunyi dalam dunia feminimitasnya perempuan.
Irwandi
Sejak mulai aktif berkarya pada tahun 1994 hingga kini, boleh di bilang karya-karya perupa yang satu ini masih eksis dengan corak abstraknya. Tentu saja bukan berarti tanpa dinamika kreatif sama sekali. Bila dicermati, secara umum setidaknya ada dua kecendrungan baru pada karya-karyanya beberapa tahun terakhir. Pertama, tidak seperti biasa yang warna-warnanya cendurng beraroma tragedi, mistis dan introvert, sekarang karya-karyanya cendrung menampilkan warna-warna segar, cerah dan berkesan optimis. Kedua, ada kecendrungan membagi ruang atau pun objek dengan bidang-bidang besar yang ditimpali gradasi warna yang harmonis, yang lazim terlihat pada lukisan bergaya realisme foto, yang banyak kalangan menilai diadopsi dari trend teknik photography, photo art, dan sejenisnya. Di samping teknik garapannya yang mumpuni, ini tentu sebuah upaya kreatif dalam mencari nilai tambah dan kejutan visual pada karya-karyanya.
Pada pameran ini Irwandi tampil dengan karyanya Di bawah Bayang-bayang Merah, Menjemput Musim dan Di Antara Bayang dan Batasan Biru. Mirip dengan visualisasi karyanya, judulnya pun penuh abstraksi, padat dan puitik. Pada intinya karya-karya ini merupakan abstraksi dari nilai-nilai, relasi sosial, semangat, dan visi pencerahan. Di Bawah Bayang misalnya, menggambarkan betapa pentingnya sebuah bayang-bayang dalam menunjang keberadaan sosok bendanya sendiri. Demikianlah sebuah metafor dari kompleksitas relasi sosial. Mulai dari masyarakat DPR hingga rakyat paling bawah sekali pun misalnya, tidak bisa dipungkiri ada inter-relasi yang saling berkontribusi membangun jejaring dan tatanan sosial masyarakat secara menyeluruh. Demikian juga dengan Menjemput Musim. yang menampilkan irama dan gerak objek sederhana dengan latar gradasi monochrome hijau, abstraksi sebuah spirit pembaruan yang menggeliat ingin keluar dari suatu kukungan menuju pencerahan.
Nasrul
Boleh dibilang karya perupa yang satu ini tampaknya sedang mengalami sebuah proses dan dinamika kreativitas. Bermula dari karya-karyanya bercorak kaligrafi, secara perlahan pada karya-karya berikutnya bergeser menjadi pseudo kaligrafi (yang kelihatan seperti kaligrafi), dan akhirnya pada hari ini kesan kaligrafi itu seakan mulai menghilang.
Bila dicermati, satu hal yang tidak beregeser dari karya-karyanya hingga hari ini yaitu pada penggarapannya, yang amat kaya dengan eksperimentasi teknik (tekstur). Memang secara visual, karya-karya Nasrul tidak menonjol dari segi objek, seperti pada karya-karya yang sengaja mengumbar keriuhan objek. Namun teknik garapan (tekstur) ini seakan menjadi brand dan daya pikat utama pada karya-karyanya.
Kali ini karya-karya Nasrul tampil dengan judul Pancang Emas Di Batas Cakrawala 2, Pancang Emas Di Batas Cakrawala 3 dan Pancang Emas Di Batas Cakrawala 4. Judul-judul karya ini seakan menggambarkan sebuah tema yang senada, paling tidak sebuah tema berseri. Secara visual tampilan karya-karya ini memang tidak jauh berbeda. Bulan besar memerah, latar gelap, hamparan alam dan pasir putih di kejauhan, gunung tandus yang di sekujur badannya tersebar lobang-lobang magma memerah, menjadi objek kunci karya-karya ini. Sekilas karya-karya ini berkesan tenang, namun bila dicermati lebih khidmat, perlahan seakan ada suasana ganjil menikam dari dalam, ada suatu rasa yang bergetar. Karya-karya ini merupkan refleksi dari sebuah pancang, yang merupakan batas atau wilayah yang berfungsi sebagai pengingat kesadaran. Namun entah kenapa pancang ini selalu bergeser entah sampai ke mana, sehingga sebuah peristiwa, sebuah kealfaan hari kemarin selalu berulang dan tumpang tindih merasuki kesadaran hari ini.
Zirwen Hazry
Zirwen, dapat dikatakan termasuk perupa yang amat mengutamakan kecakapan teknik melukis (mengambar), yang lazimnya sangat diandalkan bahkan menjadi prasyarat dalam lukisan bergaya realis, terutama realisme mooi indie. Berbagai aspek penggarapan seperti anatomi, proporsi, perspektif, prinsip pencahayaan, plastisitas objek dan sebagainya, tidak luput dari perhatian. Namun harus dicatat bahwa ia bukan melukis untuk pencitraan realis dalam pengertian konvensional. Secara visual karya-karyanya memang menampilkan dan menggarap objek-objek secara realistik (umumnya vigur bocah), namun objek-objeknya bukan ditata pada pentas (hamparan) realitas yang alami. Yang dihadirkan adalah kolaborasi antara realitas, citra dan kehendaknya sendiri. Hasilnya adalah sebuah realitas yang sudah diutak-atik, realitas yang ganjil, kontradiktif, penuh ironi dan kadang juga lucu.
Kali ini Zirwen tampil dengan karya-karyanya yang berjudul Ironi Kehidupan, Menjadi tamu di rumah Sendiri, dan Katakan dengan Senyum. Setting objek karya-karya ini tampak sangat dramatik, laksana sebuah panggung drama yang sengaja ditata sedemikian rupa dengan konsep dan visi tertentu. Tingkah vigur dan asesoris visual sekitarnya tampak menggambarkan sebuah simbolisasi pesan yang cukup kritis dan mengelitik. Sebuah introspeksi yang jujur atas kealfaaan, kebodohan, juga kemunafikan diri sendiri, yang secara totalitas akhirnya bisa merugikan diri, masyarakat dan juga bangsa sendiri. Bahkan karena sikap itu juga bisa membuat kita terpuruk jauh dari kemajuan. Pada Menjadi Tamu di Rumah Sendiri misalnya, tampak bagaimana sebuah bola bilyar (sebagai simbol sebuah permainan, sebuah imperialismne budaya luar) begitu entengnya merasuki, membuai dan akhirnya menjajah dunia anak-anak. Yah… sebuah ironi yang cukup mengiris kesadaran!
Biaro, 18 Mei 2007 Erianto Anas
Sumber : Katalog Pameran Koor Pentagona + (4-9 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatera Barat) |