Apa Iya Sumbar Butuh Museum Seni Rupa?

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Adirozal
Selasa, 10 Mei 2005 16:35:22 Klik: 2224
Selasa, 1 Februari 2005 lalu di koran Haluan pada rubrik "Seni dan Budaya"? muncul tulisan saudara Muharyadi sebagai kilas balik pameran senirupa festival Minangkabu 2004 berjudul : Mestinya Museum Senirupa Repsentatif Ada di Sumbar ! dan sub judul Melihat Karya Seni Sudah Menjadi Kebutuhan Rutin Masyarakat"?.

Bagi saya tulisan tersebut biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa untuk ditanggapi mengingat hampir setengah dari tulisan mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta ini merupakan reportase pameran seniman "urang awak"? pada festival Minangkabau. Dalam tulisannya, Muharyadi memaparkan, pameran yang berlangsung seminggu itu diikuti ratusan seniman asal Sumbar yang tersebar diberbagai daerah di tanah air, pameran dikunjungi banyak orang, kemudian dipaparkan nama pelukis, judul dan ukuran karya menurut priodesasinya .

Sebagai reportase peristiwa budaya dari pameran senirupa festival Minangkabau tulisan Muharyadi yang juga guru SMSR (sekarang SMK N 4) Padang itu merupakan sesuatu yang lumrah. Diberbagai koran atau majalah yang pernah saya baca, baik berskala daerah, nasional, dan bahkan internasional setiap pameran senirupa pola pengajian reportasenya hampir sama yakni berkisar jadwal pameran, dibuka oleh orang "penting"? (seniman, politikus, atau pejabat?), keadaan pengunjung, seniman yang berpameran, karya yang dikoleksi/terjual. Artinya tulisan ini sama dengan penyajian di koran lain, maka sekali lagi tidak ada istimewanya.

Namun sebagai jurnalis dan kolumnis juga kurator senirupa, Muharyadi pandai menyelipkan pokok pikirannya dengan gagasan "Mestinya Museum Senirupa Ada di Sumbar!"?. Sebuah ide, wacana yang menyentak dan mengelitik banyak orang, terutama kalangan senirupawan, akademisi dan lainnya bahkan bukan tidak mungkin suatu saat akan terus berkembang menjadi pembicaraan maupun diskusi hingga ke kalangan eksekutif dan legislatif di daerah ini.

Sebagai bukti tulisan itu menggelitik pembaca maka muncul dua kali tanggapan yakni Haluan 15 Februari 2005 oleh salah seorang dosen senirupa UNP Padang Yasrul Sami Batubara menanggapinya dengan judul tulisan "Sumbar Belum Memikirkan Pentingnya Museum Senirupa?"? dan kedua oleh Oktrian Ramli pengajar INS Kayutanam 22 Februari 2005 lalu dengan judul tulisan "Karya-karya Masterpiece Asal Sumbar Perlu Diselamatkan"?.

Tanggapan saya ini muncul juga dipicu dari tulisan Yasrul Sami Batubara dan Oktrian Ramli. Ketiganya seakan bersepakat, seiring pikiran untuk memufakati bahwa Museum Senirupa sudah saatnya ada di Sumatera Barat. Kerisauan beliau bertiga menggelitik pikiran dan perasaan saya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah betul di Sumatera Barat sudah perlu ada museum senirupa refresentatif?. Kemudian apakah sudah betul-betul dipikirkan dengan cermat dimana lokasi museum akan dibangun? Siapa yang akan membangun? Biayanya dibebankan kepada siapa? APBD Propinsikah, bersama atau daerah tempat lokasi museum dibangun? Lantas bagaimana strukturnya? Karya siapa yang akan "diselamatkan"?? Dan masih banyak lagi pertanyaan muncul kemudian!

Menyimak tulisan Muharyadi bahwa Museum repsentatif mestinya ada di Sumatera Barat mengingat karya seni sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Sebagai indikasinya adalah banyaknya pengunjung pameran antara 400-500 orang per-hari, bahkan mencapai 800 orang saat penutupan pameran.

Tapi apakah angka tersebut menggambarkan representasi sesungguhnya pengunjung pameran? Menurut hemat saya angka itu bukanlah gambaran peminat senirupa sesungguhnya, sebab pameran ini dilaksanakan bersamaan dengan Festival Minangkabau. Lihat saat pameran lain baik yang dilaksanakan di Taman Budaya Sumbar, di Seni Rupa UNP Padang, STSI Padangpanjang, SMSR (SMK Negeri 4 Padang), di Bukittinggi, Batusangkar dan lainnya pengunjungnya tidaklah sebanyak itu. Pengunjungnya pun bukan dari kalangan masyarakat luas melainkan sebahagian mahasiswa, siswa/pelajar sekolah seni, dosen/guru kesenian dan seniman. Artinya belum menjadi kebutuhan rutin masyarakat, apalagi sampai pada mengkoleksi karya seni.

Berbeda dengan Bali yang masyarakatnya membutuhkan seni, sehingga banyak kita jumpai museum, sanggar dan galeri. Di Ubud kita jumpai banyak galeri seni lukis dan patung. Gianyar banyak sanggar kerajinan perak. Seni benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan masyarakatnya atau bahagian dari hidup dan budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Sama halnya di Yogyakarta, berseni rupa menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Konstribusi seni rupa benar-benar dirasakan sebagai bagian integral pembangunan. Hingga sekarang, para seniman, jaringan komunitas seni yang ada, kurator dan pengamat seni, lembaga pendidikan seni, pemerintahannya, media massa semuanya saling bahu membahu membangun seni rupa menjadi icon daerah.

Saat saya ke luar negeri beberapa waktu lalu persisnya di perkampungan kecil Maxsem sekitar 25 km dari kota Dresden, Jerman. Di daerah ini ternyata terdapat museum Raden Saleh, yang setiap hari ramai dikunjungi masyarakat. Ketika saya mengunjunginya Oktober 2004 lalu, dalam buku tamu nama saya sudah tercantum pada nomor urut ke 3.000-an. Pengunjungnya tidak hanya dari masyarakat setempat tapi juga dari daerah lain.

Ide Muharyadi dan Yasrul tanpa alasan yang kuat dan argumentasinya pun dangkal. Menurut Yasrul pentingnya museum senirupa karena "ada mutiara dalam lumpur"?, tapi sayang yang dikemukakan adalah akan difungsikannya Minangkabau International Airport (MIA). Banyaknya perupa asal Sumbar yang tumbuh, hidup dan berkembang di luar Sumbar. Inikah yang dimaksud mutiara dalam lumpur? Sehingga perlu museum senirupa? Kalau ini alasannya pantas dan tepat judul tulisan Yasrul "Sumbar Belum Memikirkan Pentingnya Museum"? (minus ?).

Begitu pula tulisan Oktrian Ramli yang mengemukakan banyaknya karya-karya masterpeace asal Sumbar perlu diselamatkan. Ia juga mengupas sisi sejarah dengan mengemukakan nama-nama pelukis terkenal dari Sumbar. Oktrian bahkan membandingkan bahwa di Yogyakarta dan Jawa Tengah ada 27 museum sementara Belanda yang daerahnya sedikit lebih luas dari Jawa Tengah ternyata memiliki 663 museum. Secara tersirat Oktrian mempertanyakan berapa banyak Sumbar punya museum dan diantaranya berapa yang khusus senirupa?

Kemudian, saya justru berpikir adakah wadah kesenirupaan yang ada di Sumbar selama ini telah diberdayakan dan dimanfaatkan secara maksimal? Ruang pameran senirupa di Taman Budya, Jalan Diponegoro Padang bagaimana kondisinya? Maaf menurut saya Taman Budaya sejak lama saya kenal tak obahnya seperti "hidup segan mati tak hendak"?. Ia tak bertuan dan tak terurus jika tak ada pameran atau aktivitas kesenian lain.

Penghargaan Kita Belum Baik.

Kalau boleh ditarik "benang biru"? dari ketiga tulisan diharian ini tampaknya ada alasan yang sama dan menjadi master key mereka bertiga, yaitu Sumbar menurut Muharyadi, Yasrul Sami dan Oktrian Ramli memiliki karya-karya yang masterpeace mulai dari Wakidi, Oesman Efendi, Zaini, Nashar, Nasjah Jamin, Montingo Busye, Mukhtar Apin, Hasan Basri Dt.Tumbidjo, Arby Samah, sampai generasi Syaful Adnan, Armansyah Nizar, Nazar Ismail, Yanuar Ernawati, Syahrizal, Idran Wakidi, Yunizar, Melodia, Rudi Mantovani dan lainnya.

Kita sependapat, para pelukis tersebut dengan karya masterpeace sebenarnya menjadi aset berharga Sumbar. Tapi apakah cukup dengan menyebutkan aset-aset tersebut lantas dibuat museum senirupa di Sumbar? Menurut hemat saya belum cukup dan banyak hal yang perlu dipikirkan kearah terwujudnya museum!.

Maaf ! Sebenarnya kita sebenarnya belum cerdik dalam "membesarkan"? para senirupawan Sumbar dengan nama besar dalam peta seni rupa di tanah air terutama yang telah almarhum. Dalam hal ini terutama yang lebih dahulu membesarkan, mengakui, dan memberi penghargaan dari kalangan insan senirupa. Misalnya adakah diskusi dan seminar sehingga tokoh senirupawan kita menjadi terangkat dan dikenal berbagai kalangan? Sebagaimana Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdulllah, H. Widayat, Popo Iskandar, pernah dibicarakan orang. Apakah sudah ada karya tulis mahasiswa kita S1 atau S2 mengkaji, mengupas dan mengulas tentang masterpeace kita?

Sekedar membandingkan dengan pelukis Bali Wianta (kebetulan saya mengenalnya) dan saya yakin tidak banyak kita mengetahuinya ternyata telah diteliti oleh tiga mahasiswa S1 dan dua mahasiswa S2. Salah satu tesis mahasiswa S2 Kajian Budaya Universitas Udayana (bernama Refly) bahkan telah diterbitkan dalam bahasa Inggeris. Padahal Wianta belum sebanding dengan I Made Cokot atau Nyoman Nuarta. Bagaimana dengan Wakidi, Nashar, Oesman Effendi, Zaini, yang telah menggores sejarah dan menjadi inspirasi perkembangan senirupa di tanah air? Bukankah sudah sekian banyak UNP dan STSI Padangpanjang melahirkan sarjana senirupa? Begitu juga dosen pada dua lembaga perguruan tinggi tersebut, apakah sudah ada penelitian beliau tentang masterpeace kita?

Buku-buku yang mengupas tentang Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, Popo Iskandar, H. Widayat kita ketahui sudah banyak. Sementara di Sumbar sudah berapa buku-buku yang membahas Wakidi, Zaini, Nashar, Mukhtar Apin, Zaini?. Kalaupun ada dibahas pasti tidak tuntas dalam bentuk buku, artinya hanya ada dalam bagian buku lain.

Menurut hemat saya bagian ini amat penting sebelum museum senirupa ada. Tapi, sekali lagi saya mohon maaf, jangankan buku-buku yang mengupas tentang masterpeace kita, data base senirupawan Sumbar saja kita belum punya. Sehingga pantas mahasiswa dan siswa SMSR, SMIK, INS, UNP, dan STSI tidak banyak kenal dengan tokoh dan karya-karya senirupawan asal Sumatera Barat?

Kita juga belum bisa menghargai dan membesarkan masterpeace melalui pengabadian nama-nama beliau ? Misalnya mengabadikan nama masterpiece pada gedung-gedung dan ruangan pada SMSR, SMIK Negeri Padang dan Bukitting, Senirupa UNP Padang, INS Kayu Tanam, Kriya STSI Padangpanjang. Misalnya diberi nama Gedung Pameran Wakidi, Ruang Disain Zaini, Studio Lukis Nashar, Bengkel Praktek Mukhtar Apin. Menurut pengamatan saya kalaupun ada belum maksimal. Atau dalam bentuk lain cara menghargai, misalnya memberi Wakidi Award pada siswa yang melukis alam terbaik, Zaini Award untuk pendisain cendramata ciri khas Minangkabau dan lainnya.

Hal ini akan menjadikan apresiasi dan penghargaan siswa dan mahasiswa serta masyarakat luas terhadap masterpeace semakin baik yang akhirnya museum senirupa (kalau dibuat) menjadi lebih bermakna. Artinya museum bukan sekedar "gudang"? pemajangan karya. Pengunjung yang datang tidak hanya puas estetis eksperien tapi juga bertambah pengetahuan dan pemahamannya.

Bravo Senirupa Sumatera Barat !!!

Padangpanjang, 13 Maret 2005 Catatan Redaksi

Adirozal, Senirupawan, alumni S1 Senirupa IKIP Padang (1985) dan S2 Universitas Udayanya Bali (2001) dosen STSI Padangpanjang, Pemerhati Budaya, kini menjadi Wakil Walikota Padangpanjang.

Sumber : HALUAN Selasa 15 Maret 2005

 
Berita Aktual Lainnya

Video Pilihan


Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...

Film Animasi No Mercy Karya siswa SMKN 4 Padang

Cara Siswa Baru Daftar Ulang Memasukan Biodata Di Sisfo ...

PAMERAN INTERIOR DUA SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN RESMI ...

SMKN 4 PADANG BEKALI SISWA UNTUK TERJUN KEDUNIA ...

Rin Hermana Ngaku Suka Cabut Saat SMK - CANGKEH PODCAST

Dirjen Pendidikan Vokasi Bapak Wikan Sakarinto ...

Kendaraan Tradisional Bendi di Sumbar (Film Dokumenter ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test