Keanekaragaman Lukisan Sebagai Pencitraan Nilai Budaya

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Oktrian Ramli
Selasa, 10 Mei 2005 16:30:18 Klik: 2103
Dalam diskusi senirupa yang digelar Himpunan Alumni Sekolah Senirupa (Hiasspa) SSRI/SMSR Negeri Padang se-Indonesia beberapa tahun silam di Taman Budaya Sumbar, salah seorang pembicara Drs. Kasman KS, menyebutkan, kecendrungan lahirnya senilukis moderen di tanah air sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia banyak didominasi oleh pelukis urang awak , terutama yang bermukim di Yogyakarta.

Menurut Kasman KS, alumni SSRI Padang (1972) yang juga mantan PR III Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1997-2001) itu menyebutkan, kecendrungan tersebut dimunculkan oleh kalangan pelukis muda asal Sumbar yang mengenyam pendidikan tinggi senirupa di Yogyakarta. Sederetan nama-nama bermunculan seperti pelukis Melodia, Hamzah, Yunizar, Stevan Buana, Handiwirman, Rudi Mantovani, Yasrul Sami Batubara, Febri Antoni, Yanuar Ernawati dan puluhan nama lainnya.

Karya-karya mereka bukan saja sebagai pembaharu senilukis moderen ditanah air, tapi juga sebagai iconnya senilukis moderen di tanah air seperti yang banyak ditulis dan ditelaah para pengamat senilukis tanah air.

Yang tak kalah menarik, para kolektor salah satu penyangga, selain museum dalam bersenilukuis di Yogyakarta, ternyata tak segan-segan mengoleksi karya-karya pelukis angkatan muda asal Sumbar itu dengan harga fantastis. Pun lelang lukisan dibeberapa negara seperti di Singapura, Thailand, Hongkong bahkan Jepang karya-karya pelukis urang awak selalu meramaikan suasana lelang. Jarang sekali nama dan karya-karya pelukis urang awak yang terlewatkan begitu saja.

Namun kekhawatiran saya, ujar Kasman KS, ada indikasi sejumlah nama-nama yang sudah mulai tergiur akan nilai materi dan finansial dari karya-karya yang mereka hasilkan melalui pergulatan wilayah kreativitasnya secara berlebihan. Padahal karya-karya lukis terbaik yang pernah dihasilkan seseorang dalam proses perjalanannya, sebaiknya disimpan dan dikoleksi oleh yang bersangkutan agar suatu saat nanti menjadi aset berharga Sumbar yang tidak ternilai harganya untuk disimpan dan dipajang pada museum senirupa jika suatu saat hadir di Sumbar, ujar Kasman KS.

Tapi pelukis urang awak yang bermukim di Yogyakarta ternyata bukanlah segala-galanya, karena dinamika pelukis di Sumbar maupun luar Sumbar selain Yogyakarta, Bali, Jakarta dan Bandung ternyata mempu melahirkan karya-karya senilukis moderen ditandai pula bermunculannya berbagai komunitas senirupa sebagai penyangga kerja bersenirupa secara sungguh-sungguh, meski sebagian ada yang masih bersifat amatiran.

Pun dalam beberapa kali pameran nasional di Galeri Nusantara dan sejumlah museum di Jakarta karya-karya urang awak non Jawa telah dilirik para kolektor didasari pergulatan wilayah kreativitas seniman dalam ranah estetis yang dinilai mulai ada penampakan dinamika disana-sini.

Jangan Terlena Euforia

Fenomena menarik, para pelukis setelah angkatan Wakidi (1920-1979), era tahun 1980-an dan tahun 1990-an hingga sekarang terutama urang awak apakah ia di pulau Jawa atau dimana saja, ternyata tak memiliki banyak perbedaan ruang dan waktu dalam kerja lukis-melukis. Yang ada hanya soal itensitas, kreativitas dan idiom-idiom baru dalam menggagas berbagai problematika dan dinamika sebagai isian dan konsep realitas kehidupan disana-sini, dilingkungan dimana masing-masing berada, tanpa meninggalkan nilai-nilai kedaerahan yang menjadi dasar proses kerja sebelumnya.

Saya melihatnya era kebangkitan senilukis Sumbar, sejak dulu hingga kini tak pernah pudar dalam peta senirupa di tanah air. Fenomena menarik dari perkembangan senilukis beberapa tahun terakhir selain diikuti dengan tingginya frekwensi pameran diberbagai, juga dianggap sebagai simbol eksistensi bersenilukis. Memngingat pelukis urang awak cepat beradaptasi dengan kemajuan senilukis dan ilmu yang ada didalamnya yang cendrung mengglobal.

Persoalan sekarang, apakah Sumbar cukup hanya hanyut dengan euforia keberhasilan pelukis urang awak selama ini dengan hanya menyebut nama dan kebesaran masing-masingnya dalam memori sejarah panjang senilukis di tanah air. Atau mungkin untuk sekedar diingat-ingat para praktisi dan pengamat senirupa dalam berbagai kesempatan dan keperluan yang tak perlu didokumentasikan sebagai bukti sejarah senilukis di alam jagad raya ini. Rasanya tentu kita tidak gegabah menilainya demikian. Karena ini adalah realitas mata rantai seni budaya yang telah mengakar sejak lama di daerah ini.

Tindakan Kongkrit Kedepan

Pemikiran, ide maupun wacana untuk mengumpulkan karya-karya lukis terbaik yang pernah dihasilkan dalam ranah estetis dan kreativitas pelukis asal Sumbar, sebenarnya sudah ada sejak hampir tiga puluh lima tahun silam. Yaitu untuk dipajang dalam suatu museum senirupa Sumbar sebagai pusat kajian sejarah yang sarat nilai-nilai, pusat literatur senirupa daerah, sumber peradaban masyarakat yang berbudaya tinggi dan adiluhung sekaligus ajang menghargai karya senirupa untuk anak cucu dikemudian hari.

Dalam beberapa bulan terakhir di sebuah surat khabar lokal, tulisan beberapa pengamat dan pemerhati seni yang mengungkit persoalan lama yang telah dibicarakan sejak tahun 1970-an, yakni perlunya dibangun museum senirupa refresentatif di Sumbar dengan berbagai pertimbangan yang masak disana-sini. Ternyata menjadi ajang polemik diantara para seniman dan pengamat senirupa di daerah ini, bahkan sampai beberapa minggu terakhir.

Kita tidak usah terseret dalam perdebatan panjang polemik di surat khabar, meski perbedaan pendapat soal perlu tidak museum senirupa sebenarnya sesuatu yang lumrah di alam demokrasi sekarang.

Yang diperlukan seperti saran berbagai kalangan komunitad perupa di Sumbar, di luar Sumbar adalah bagaimana tindakan kongkrit kedepan, yakni mendesak para pengambil kebijakan di daerah ini baik (eksekutif maupun legislatif) untuk memikirkan pentingnya museum dengan tujuan, hakikat, fungsi dan sasaran yang jelas. Diikuti pemikiran pendanaan pembangunannya, lokasi dibangun, struktur, hingga ke hal-hal detail layaknya museum yang ada di tanah air bahkan disejumlah negara maju.

Saya sependapat jika sejak sekarang telah terbentuk steering comitte seperti yang diusulkan H. AM. Y. Dt. Garang melalui tulisannya minggu lalu di koran kesayangan kita ini. Mungkin Muharyadi atau lainnya yang sejak semula memulai wacana dan polemik perlunya museum senirupa bisa memediator pembentukkan steering comitte disertai adanya proposal yang realistik dan implementatif. Kinilah saatnya mendesak pengambil kebijakan di daerah ini tanpa tedeng aling-aling.

Sebab persoalan museum adalah merupakan proses pencitraan akan nilai-nilai bufaya yang ada. Sumbar sejak dulu bahkan hingga kini kaya dengan keanekaragam karya senirupanya, apalagi senilukis. Akankah karya-karya tersebut kita biarkan begitu saja, tanpa ada upaya pendokumentasian, pemajangan, pengkajiaan, penelaahan terhadap nilai-nilai sejarah yang tersirat didalamnya.

Pembangunan fisik di Sumbar diakui sangat penting artinya, tapi pembangunan non fisik yang bersentuhan terhadap nilai-nilai budaya sebagai simbol peradaban masyarakat yang konon katanya sangat berbudaya di daerah ini, jauh lebih penting. Inilah salah satu diantara peran museum senirupa Sumbar dari banyak peran yang terkandung di dalamnya.

Tunggu apalagi ?

Catatan Redaksi :

Oktrian Ramli, Alumni SMSR Padang (1994), UNY Yogyakarta (2001), Pendidik dan Pekerja Seni tinggal di Padang.

 
Berita Wawasan Seni Lainnya

Video Pilihan


Kendaraan Tradisional Bendi di Sumbar (Film Dokumenter ...

JAMAIDI PELUKIS SMKN 4 PADANG YANG MENDUNIA

SMKN 4 PADANG TERPILIH SEBAGAI SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN

Profil Jurusan Seni Patung SMKN 4 Padang

Hans De Kraker KAMPANYE FILM INDONESIA DI SMKN 4 PADANG

SMK PK Skema Pemadanan “ Kolaborasi Pendidikan Vokasi ...

ILM tentang bahaya gadget by Nurul Maisarah

Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test