EMBRIO SENI RUPA INDONESIA ADA DI SUMATERA BARAT
Oleh Muharyadi | ||
| ||
penulis | ||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||
Membicarakan seni rupa sebagai bahagian dari kebudayaan yang ada di Sumatera Barat dapat dilihat dari 2 (dua) fokus masalah yakni : yakni fine art (seni murni) dan applied art (seni kriya). Keduanya ditinjau dari fenomena pertumbuhan dan perkembangannya sejak beberapa dekade terakhir bukan hadir begitu saja, tanpa diawali sejarah panjang yang melingakarinya. Misalnya, selain pulau Jawa seperti Yogyakarta, Bali dan beberapa daerah lain yang lebih awal dikenal masyarakat dalam dunia seni lukis. Dalam catatan sejarah peta seni rupa di tanah air ternyata Sumatera Barat sejak lama telah dikenal sebagai salah satu basis seni lukis Indonesia, cuma pertumbuhan dan perkembangannya tidak sepesat di pulau Jawa. Suatu kilas balik dan sejumlah indikator dari analisis para pengamat menyebutkan, tradisi berseni lukis di Sumatera Barat selama ini antara lain; banyak seniman giat kerja lukis-melukis, ada perguruan dan sekolah yang mempelajari dunia seni lukis, banyak anak-anak berbakat melukis, kemudian lomba melukis dari berbagai golongan kerap digelar, frekwensi pameran seni lukis yang lumayan tinggi setiap saat, peran media massa menyediakan kapling untuk seni rupa baik berupa apresiasi, kritik maupun pengantar kuratorial cukup signifikan ternyata tak mampu membuat dunia seni lukis menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Alasan klasik diantaranya selain belum memadainya insfrastruktur seni lukis, ternyata apresiasi masyarakat terhadap seni lukis masih rendah dan yang paling vital lagi banyak pelukis tidak bisa hidup dari kerja lukis-melukis. Sementara di pulau Jawa seperti Yogyakarta, Jakarta dan Bali semua persoalan yang melingkari dunia seni lukis tertata dengan apik, misalnya peran museum dan galeri, perhatian pemerintah daerah terhadap seni rupa yang cukup tinggi, insfratruktur yang memadai, peran kurator dengan publik seni termasuk kolektor terbangun dengan baik ditambah andil media massa yang cukup berpangaruh terhadap pasang surut seni lukis itu sendiri. Tak heran kalau banyak diantara seniman lukis disana dalam wilayah kreativitasnya bertaburan kemewahan dari transaksi jual beli lukisan. Anda tidak usah kaget jika saat ini sebuah lukisan bisa dihargai dengan harga bombastis mencapai miliaran rupiah. Persoalan seperti ini perlu kita sikapi bersama tanpa mengenyampingkan arti nilai, makna dan isi yang terkandung dalam seni lukis itu sendiri? Bahkan berkembang pameo selama ini dikalangan pelukis di Sumatera Barat, bahwa ; “Jika ingin berkembang dan dapat hidup dari dunia seni lukis, pergilah ke pulau Jawa seperti Yogyakarta, Bali dan Jakarta. Kondisi realitas seperti ini tak dapat dipungkiri. Puluhan bahkan ratusan seniman “urang awak” yang nota bene alumni SSRI/SMSR/SMK N 4 Padang disana memperoleh hasil luar biasa dari hasil penjelajahan wilayah kreativitas di masing-masing karya, tidak saja dalam skala nasional bahkan Asia dan tidak terhitung pula seniman asal Sumatera Barat berpameran dan meraih sukses di sejumlah Negara Eropa. Sementara jika kita membidik dunia seni kriya, menurut Ibenzani Usman (1994) dalam dua abad terakhir di Sumatera Barat telah melahirkan para perajin dan kriyawan yang mengandalkan oral tradition warisan pendahuluan. Artinya mereka telah memproduksi benda-benda kegunaan sehari-hari, seperti anyaman pandan, anyaman rotan, tenunan songket, ukiran kayu, tembikar, kriya logam, keramik dan lainnya. Kemudian bentuk, fungsi, sifat, sifat bahan, metoda anggitan serta penerapan artistik berhasil dipadu sehingga menjadi kesatuan yang harmonis di karya mereka. Karya-karya tersebut berhasil merebut perhatian masyarakat diantaranya pemuka-pemuka Belanda dan para ilmuannya yang bertugas di Sumatera Barat saat itu menjadikannya sebagai benda koleksinya. Walau diakui benda-benda tersebut masih sebatas benda kriya (seni kerajinan), tapi ia adalah bagian dari seni rupa juga atau applied art. Bahkan hingga kini terus berkembang seperti dapat dilihat pada sentra-sentra kerajinan yang menyebar di Sumatera Barat dengan jumlah yang cukup spektakuler (baca : Brosur Dinas Perindustrian Sumbar,1980). Sekedar contoh kini seperti terdapat di Sungai Puar, Pandai Sikek, Ampek Angkek Canduang , Koto Gadang, Naras, Galo Gandang dan lainnya. Perkembangan Seni Rupa Sumatera Barat yang dulu bernama Sumatera Tengah menurut Van Hasselt (1881) dalam ekspedisinya selama beberapa tahun di Sumatera Tengah telah berhasil didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul Ethnographische Atlas Van Midden Sumatera (1881). Mengingat saat itu belum ada kamera foto, maka data visual yang ditemui tentang seni rupa Sumatera Tengah di gambar dengan pena tinta cina. Setengah abad kemudian diikuti oleh Jasper (Belanda) dan M. Pirngadi (Indonesia) melakukan perjalanan budaya diseluruh nusantara, Dari hasil perjalanannya selama 3 tahun dibuat buku lima edisi yang terangkum dalam satu paket berjudul Irlandsche Kunstneverheid In Nederland Indie yakni tahun 1919, 1921, 1924,1927 dan 1930 yang isinya dilengkapi dengan foto-foto yang sudah memadai, pun di dalamnya juga memuat Seni Rupa di Sumatera Tengah. Kemudian tahun 1980 silam, Prof. Dr. But Mukhtar dan kawan-kawan juga mengadakan survey di Sumatera Barat untuk benda-benda seni kriya. But Mukhtar dan kawan-kawan sangat kagum terhadap benda-benda seni kerajinan dengan prospek Commodity Exsport dan Usaha-usaha Home Industri di Sumatera Barat.
Diantara murid dan pengikutnya tercatat nama Baharuddin MS, Syamsul Bahar, Oesman Effendi, Mara Karma, Hasan Basri DT. Tumbijo, Montingo Busye, Zaini, Nashar, Ipe Mak’ruf, Alimin Tamin, Nuzurlis Koto, Arby Samah, Mukhtar Apin, A.A. Navis, Wisran Hadi, Mukhtar Jaos dan banyak lagi hingga ke tokoh-tokoh muda saat. Maraknya pertumbuhan dan perkembangan era tahun 1960 diikuti pula hadirnya sejumlah lembaga pendidikan seni rupa di Sumatera Barat seperti jurusan seni rupa IKIP Padang, Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Padang yang didirikan 25 September 1965, kemudian tahun 1977 berganti nama menjadi Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan tahun 1994 berganti nama lagi menjadi SMK Negeri 4 Padang. Era 1980-an berdiri lagi jurusan seni kriya STSI Padang Panjang (sekarang ISI) diikuti hadirnya sejumlah sanggar dan galeri-galeri kecil yang bertebaran di Sumatera Barat.
EMBRIO SENI RUPA INDONESIA ADA DI SUMATERA BARAT Tak dapat dipungkiri kehadiran lembaga pendidikan seni, satu diantaranya SSRI atau SMSR dan terakhir berganti nama lagi menjadi SMK N 4 Padang terbukti mampu memberikan kontribusi pada etalase seni rupa di tanah air dengan beragam pertumbuhan dan perkembangannya. Lihat dalam peta perjalanan seni rupa Indonesia dari angkatan muda hingga kegenerasi tua nama-nama urang awak menjadi catatan penting dunia seni rupa di tanah air saat ini. Sejumlah nama dari kalangan muda diantaranya Rudi Mantofani, Yunizar, Stevan Buana, Handiwirman, Alfi, Abdi Setiawan dan beberapa nama lain dalam wilayah pergulatan kreativitasnya mampu membuat catatan dan sejarah baru dalam peta seni rupa Nasional, baik dari muatan dan isi karya dengan dinamika kreativasnya dalam tataran era seni rupa modern hingga sampai ke harga karya yang luar biasa bombastis ukuran Indonesia saat ini. Diantara mereka dalam suatu pameran bergengsi satu lukisan dihargai lebih dari 10 milyar, sungguh spektakuler.
Dilihat dari sejumlah nama-nama senior asal urang awak yang kini mayoritas bermukim dan berkarya di daerah istimewa Yogyakarta meski dalam keadaan stagnan mereka masih tetap eksis berkarya, berkarya, berpameran dan berkarya lagi, diantaranya : Syaiful Anan, Yetmon Amir, Risman Marah, Syahrizal Koto, Albara, Arlan Kamil, Yusman, Ali Umar dan sejumlah nama lain yang rata-rata memperoleh pendidikan di SSRI/SMSR/SMK N 4 Padang sebelum mereka hijrah melanjutkan kependidikan tinggi ASRI (ISI) Yogyakarta. Termasuk yang saat ini berada di Sumatera Barat sendiri. Lihat satu diantaranya kiprah pelukis muda Zirwen Hazry diberbagai even nasional da;am beberapa tahun terakhir dan sejumlah nama senior seperti Nazar Ismail, Yose Rizal, Armansyah Nizar, Ardim dan lainnya. Tak sedikit sumbangsih mereka terhadap perkembangan seni rupa modern di tanah air. Ini sebuah catatan penting dalam peta seni rupa Indonesia. Oleh karena itu apa yang digelar pada pameran karya siswa tiga sekolah rumpun seni budaya ini (SMK N 4, SMK N 8 Padang dan SMK N Ampek Angkek, Canduang, Agam) dikaitkan benang merah perjalanan seni rupa secara lokal, regional bahkan nasional sangat dirasakan perannya masing-masing. Terlebih disimak perjalanan SSRI/SMSR/SMK N 4 Padang sebagai salah satu sekolah seni budaya tertua di Sumatera dan cuma ada tiga di Indonesaia yang hingga kini telah berusia 46 tahun lebih (25 September 1965) dengan sejumlah jurusan yang cukup popular didalamnya seperti ; Seni Lukis, Disain Komunikasi Visual, Disain Produk Karya Tekstil, Disain Interior Hotel, Multi Media merupakan cikal bakal atau embrio tumbuh dan berkembangnya seni rupa di tanah air. Disusul kemudian kehadiran SMK N 8 Padang dan SMK N Ampek Angkek Canduang, Agam yang dulu bernama Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) dengan ranah produk seni kerajinan yang berdiri di era tahun 1990 an nyata-nyata turut memperkuat basis seni rupa dan kerajinan daerah ini sebagai bagian dari kebudayaan yang ada. Lihat karya-karya siswa yang terpajang saat ini. Yang menjadi persoalan krusial dan menggelitik hati kita sekarang, mau dibawa kemana ke tiga sekolah ini kedepannya. Dan sejauhmana pula political will dan apresiasi serta grand disain para pengambil kebijakan daerah ini terhadap maju mundurnya perkembangan pendidikan kelompok seni budaya di Sumatera Barat yang embrionya ada di tiga sekolah kelompok seni budaya ini. Persoalan inilah yang menjadi centre of interest yang perlu dipikirkan bersama. ***
Muharyadi, alumni SMSR, pendidik,kurator dan jurnalis tinggal di Padang
| ||