Melihat Alam, Memeriksa Kearifan

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Kuss Indarto
Jumat, 02 Juni 2006 11:07:47 Klik: 2620
Membincangkan kriya seni bisa selaksa menggenggam setangkup tanah liat. Dalam “perangkap” seni rupa kontemporer dewasa ini, kriya seni telah tergolek sebagai medium dan basis “ideologi(s)” yang bisa dibekuk dan diekplorasi penuh kelenturan gagasan serta cara pandang. Fleksibel bin elastis. Pemikir seni rupa Amerika Serikat, Martha Buskirk – seperti yang pernah dilansirnya via buku The Contingent Object of Contemporary Art (2003) – menunjukkan dengan tegas bahwa kebanyakan karya seni rupa kontemporer, tak terkecuali kriya seni, sesungguhnya merupakan obyek yang contingent: keberadaannya sebagai teks sangat fleksibel bergantung pada konteks yang dikonstruksi oleh seniman, kurator, dan pihak-pihak yang berada dalam lingkar contemporary art world.

      Peletakan posisi yang apresiatif terhadap kriya seni itu tentu merupakan lompatan penting ketimbang kecenderungan pemahaman yang acap berlaku bahwa kekuatan dan nilai kriya lebih kuat dipandang sebagai craft atau seni kriya (awas, bukan kriya seni), yakni pada ihwal apa yang tampil dan terlihat atau absorbed simply by looking. Dan dari sanalah kita melihat kualitas teknik, kemampuan dalam pengolahan material, dan pencapaian keindahannya. Inilah yang kemudian memberi titik beda antara seni kriya atau craft yang mengedepan sebagai “sekadar ketrampilan membuat sesuatu”, dan kriya seni atau craft as art yang prosesnya didahului oleh pemikiran refleksi atas “gagasan” dan “konsep” yang mencerminkan daya imajinasi dan kreasi. Seni kriya kemudian akan berujung pada karya-karya yang bernilai fungsional, sementara kriya seni lebih menekankan pada aspek ekspresi personal dan konseptual.

***

      Dualisme di atas, kalau dibaca secara rigid, memang cukup berisiko untuk dijadikan sebagai kerangka dasar atau “alat bantu” untuk mengamati karya-karya Z. Muchlis yang tengah dieksposisikan Ministry of Coffee, Jalan Prawirotaman Yogyakarta, 22 Mei hingga 15 Juni ini. Artinya kalau titik beda yang mengemuka di antara kriya seni dan seni kriya dijadikan sebagai titik acu utama, peluang untuk melakukan proses apresiasi lebih jauh atas karya Muchlis yang cenderung sebagai “seni kriya” akan mentah. Oleh karenanya, seperti di awal tulisan ini, posisi untuk memandang kriya bagai memegang “setangkup tanah liat” memang perlu dikedepankan. Dengan demikian, kekakuan cara pandang bisa terelakkan.

      Ini terutama untuk menguak latar belakang penciptaan karya kriya Muchlis yang dengan kuat dilatari oleh pengalaman batinnya sebagai anak Minang. Serasa ada keinginan yang cukup kuat untuk mengaktualisasikan kembali kearifan lokal (local wisdom) dari tanah kelahirannya yang masih menancap kuat dalam batok kepalanya, untuk kemudian dijadikan titik pijak membangun progresivitas di atasnya. Bisa jadi ini sebuah sublimasi atas cara pandang manusia Minang yang menahbiskan “alam takambang jadi guru” sebagai basis ideologi untuk menubuhkan diri dengan lingkungan. Sebenarnya tak begitu luar biasa apa yang dilakukan seniman ini. Juga barangkali tak teramat baru. Tetapi justru kebersahajaan tersebut, yang kemudian terimplementasikan dalam kreativitasnya, yang menjadikan karya kriyanya itu menjemput kekuatan tersendiri – sekecil apapun kekuatan tersebut.

      Obyek-obyek benda seperti sendok, garpu, pisau, mangkuk, tempat nasi, piring, teko, hingga tempat merica dan lilin, relatif semuanya dijumput dari kesadaran dirinya terhadap memori atas kearifan lokal yang masih bersemayam dalam batok kepalanya. Alhasil muncul motif-motif menarik dalam dua hal, yakni secara visual, dan dalam pengidentifikasian yang kental dengan lokalitas Minang. Dalam aspek visual. Seniman kelahiran 22 Mei 1978 ini seperti berupaya memecahkan kebuntuan dalam menggali kemungkinan “menghias” alat-alat bantu hidup sehari-hari. Sesuatu yang remeh, kecil, sederhana, diperiksa kembali. Jadilah karya-karya seperti yang terpampang dalam pameran ini.

      Sedang hal menarik dalam pengidentifikasian, sekali lagi, saya duga merupakan bagian penting dari kesadaran dan kepeduliannya dalam menjadikan alam yang terkembang-terbentang sebagai sang Guru. Ambil misalnya motif-motif yang diidentifikasi dengan nama-nama lokal yang khas: tirai bungo lado, buah-buah anau, siriah naiak, pucuak rabuang, bungo anau, tirai anjilu, bada mudiak, takuak kacang goreang, tirai ampek angkek aka tangah duo gagang. Hingga motif-motif dengan juluk yang lucu semacam: tupai managun, kudo manyipak dalam kandang, kuciang lalok, itiak pulang patang, kudo manyipak.

***

      Di sela kemenarikan karya-karya Muchlis tersebut, sebenarnya ada pula pertanyaan mendasar yang tak salah untuk dikemukakan dalam kesempatan ini, yakni: adakah agenda (entah tersebunyi atau terancang) dalam menata(p) kecenderungan karya-karyanya mendatang? Apakah akan terus bersetia untuk menggali lebih jauh dasar-dasar kearifan lokal sebagai muatan dalam karya-karyanya, ataukah justru berencana menggeser cara pandangnya untuk mengadopsi kecenderungan lain yang senantiasa berkelebat di tengah interaksi sosial dan kreatifnya?

      Tentu ini bukan persoalan mudah. Terus terang, saya sendiri tak begitu punya kekayaan referensi dalam menatap ragam jagad motif-motif karya kriya untuk obyek-obyek benda yang telah suntuk digarap oleh Muchlis ini. Tetapi agenda untuk menggeser cara pandang atau bahkan ketertarikan tertentu dalam laku kreatif seniman merupakan ruh dari kreativitas seorang kreator. Dan ini dengan segera dimungkinkan akan terjadi atau menimpa sosok Muchlis. Penggeseran cara pandang yang saya maksudkan tentu saja adalah bagaimana seniman mengelola gagasan dalam berkesenian dengan mengasumsikan diri sebagai periset yang terus-menerus melakukan hipotesa, uji-coba dan eksperimen untuk mendapatkan temuan-temuan baru. Bukan berperilaku sebagai tukang yang senantiasa mengukur dan menakar diri pada capaian-capaian kuantitatif semata.

      Sebagai urang awak yang mendamba pada tempaan pengalaman dalam beradaptasi, mereka adalah para jagoan dalam menerapkan falsafah dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau dalam gradasi yang lebih luas, falsafah ibu cari, dunsanak cari, induak samang cari dahulu (kalau di kampung halaman ditinggalkan ibu, maka di tanah perantauan ibu pun harus dicari) dapat dipahami sebagai kepiawaian anak Minang dalam mencari “ibu baru” di tanah rantau. So, kultur yang berbeda merupakan “ibu baru” untuk pemicu bagi tantangan kreatif berikutnya.

      Muchlis, semoga saja, tergerak untuk terus bergerak.

      Kuss Indarto, kritikus dan kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.

 
Berita Wawasan Seni Lainnya

Video Pilihan


si BUYUNG - Film Animasi karya siswa multimedia SMKN 4 ...

Dirjen Pendidikan Vokasi Bapak Wikan Sakarinto ...

Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...

Rin Hermana Ngaku Suka Cabut Saat SMK - CANGKEH PODCAST

Model Pembelajaran Problem Based Learning

Peta Jalan Pengembangan SMKN 4 Padang

Pelaksanaan UKK KKBT Tahun 2022

Profil Jurusan Multimedia SMK N 4 Padang
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test