Pembajakan Sebagai Kejahatan Moral

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Ady Rosa
Senin, 06 Februari 2006 11:51:57 Klik: 3314

Mendengar kata pembajakan (bajak) saja kita sudah dihadapkan kepada suatu kegamangan yang cukup mengerikan, sebab menurut Kridalaksana (1982) dalam Bahasa Indonesia Kamus Sinonim dikatakan sebagai orang yang punya pekerjaan sebagai penyamun, perampok, begal. Hal yang sama juga dijumpai dalam KKBI (1989), membajak melakukan perampokan, mengambil hasil ciptaan orang lain.

Artian yang dikemukakan tadi jelas merupakan suatu pekerjaan yang punya konotasi negatif, bertentangan dengan kodrati manusia yang mestinya melakukan sesuatu pekerjaan yang punya implikasi positif. Artinya tidak merugikan usaha orang lain. Tapi artian tadi bagi sebagian orang tidaklah memiliki makna yang berarti, sebab lebih mementingkan keinginan yang besar untuk keuntungan “materi”, dengan membajak hasil kerja orang lain.

Manusia yang memiliki sikap semacam ini, sebenarnya adalah manusia yang luluh dengan ketidakberdayaannya, miskin dengan keintelektualannya, tidak kreatif, dan memiliki sejumlah predikat yang minor.

Dalam Al Qur’an (Al-Isra : 70) dikatakan “ Kami muliakan anak-anak adam. Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna”. Ini artinya diberi akal sehat agar bisa menjadi kreatif.

Padahal kesenian (seni lukis) merupakan suatu perwujudan lewat kreativitas, seperti dikemukakan Aristoteles (dalam Bakker, 1990); Kesenian indah indah suatu perwujudan daya cipta manusia yang spesifik. Fungsinya yaitu untuk mengidealisasikan dan menguniversalkan kebenaran, sehingga kebenaran itu menghibur, meriangkan hati dan mencamkan cita-cita mulia lebih dalam daripada keyakinan rasional belaka.

Sangat jelas apa yang dikemukakan Al Qur’an maupun pendapat Aristoteles, bahwa manusia dengan kelebihan akalnya dengan cara yang spesifik dapat mengidealkan dan menguniversalkan intelektual dalam berkesenian. Artinya manusia harus mendayagunakan intelektual, etik dan estetik dalam melahirkan karya seni. Bertitik tolak dari sini saja sudah menunjukkan bahwa pembajakan seni (lukis) adalah tidak memiliki ketiga aspek tadi

Peniruan – Pembajakan

Manusia adalah makhluk sosio – budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar, apa yang diperoleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya. Melalui aspek belajar komunikasi lewat bahasa lisan, bahasa tulis dan bahasa rupa.

Ketika komunikasi didasarkan bahasa rupa yang dipakai sejak masa Neolithikum, terbentuk berdasarkan ciptarupa, seperti ukiran, pahatan dan lukisan semuanya merupakan hasil dari konvensi masyarakat adat (indigeous people) sebagai wahana komunikasi. Ciptarupa muncul didasarkan atas tanda-tanda gambar berupa simbol struktur kemasyarakatan, ekonomi, kesehatan, tanda kenal keterampilan/kepiawaian seseorang dan sebagai dekorasi.

Ciptarupa tersebut merupakan milik masyarakat adat etnik yang tersebar di Nusantara, yang selanjutnya disebut sebagai seni rupa tradisional, sebagai penerusan dari seni rupa nenek moyangnya. Dalam lingkungan masyarakat adat tersebut terhadap karya seni rupa antara masing-masing mereka terjadi peniruan adalah hal yang biasa, karena merupakan keharusan sebagai wujud dari masyarakat solidaritas mekanik. Sebab seni rupa yang dibuat titik beratnya pada kesatuan seni itu sendiri dalam tatanan kehidupannya, yang menandai perasaan kelompok (kolektif).

Ketika seni rupa masyarakat adat dibuat oleh lingkup anggota masyarakat pendukungnya, ini tidak menjadi masalah karena masih dalam tatanan sosio- budaya yang sama. Namun ketika motif-motif yang terdapat pada ukiran, maupun lukisan yang dimiliki masyarakat adat dibuat oleh orang atau masyarakat diluar dari lingkungannya maka ini akan terkena sanksi. Apalagi sekarang banyak kasus yang terjadi, dimana motif-motif seni rupa ukiran atau pahatan kayu, lukisan dinding, lukisan tubuh (body painting: tatto) banyak dipakai oleh bukan pemiliknya yang jelas-jelas dikomersialkan, ada yang dijadikan ragam hias untuk bordir, batik ,benda-benda furnitur.

Kasus semacam ini akhir-akhirnya disadari walaupun agak terlambat untuk ditangani, seperti yang diperlihatkan oleh KMNRT – LIPI lewat program insentif perlindungan pengetahuan tradisional (LINTRAD), seperti dikemukakan “ Pemahaman yang beragam tentang pengetahuan tradisional seringkali merendahkan terhadap kekayaan intelektual masyarakat adat menjadikan kita kurang mengindahkan untuk menggali potensi yang termuat di lingkungan masyarakat adat itu. Padahal berbagai potensi masyarakat adat seharusnya dapat digarap untuk perkembangan ekonomi, misalnya saja pengetahuan tradisional masyarakat adat akan seni tari, ukiran ,tenun”. Hal ini menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam menangani pengetahuan tradisional (tradition knowletge), dengan disahkannya undang-undang baru yang berkaitan dengan hak atas kepemilikan intelektual (HaKI ), dua diantaranya adalah undang-undang No. 30 tahun 2000 tentang rahasia dagang dan undang-undang No. 31 tahun 2000 tentang desain industri secara perlahan akan memberi dampak terhadap pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia, apabila dikaitkan dengan pelanggaran HaKI.

Jadi kedudukan seni rupa tradisional pun sebagai seni kolektif milik masyarakat adat, harus mendapatkan perlindungan HaKI apalagi dengan seni rupa (lukis) modern yang dibuat atas dasar kreativitas individu yang memiliki jati diri melalui corak maupun tampilan bentuknya.

Peniruan dalam seni masyarakat adat merupakan suatu aktifitas yang dilindungi oleh tatanan hidup masyarakatnya, karena seni masyarakat adat tradisional tidak berdiri sendiri sebagai seni murni, tetapi seni yang digarap berdasakan aturan baku yang hidup dalam ajaran kepercayaan - keyakinan mereka (seperti : Mentawai, Dayak, Papua dan masyarakat adat lainnya) lewat hasil konvensi etnik yang bertuang dalam institusi masyarakat adat sebagai spirit kehidupannya.

Sedangkan dalam tatanan masyarakat kota dibuat berdasarkan atas pertanggungjawaban kreativitas individu, melalui tampilan corak bentuk dan medium yang digunakannya sehingga lahir ciptarupa – lukisan. Bila terjadi peniruan atau mencaplok secara fisik karya yang persis yang sama dengan karya seniman lain, maka inilah yang dikatakan sebagai peniruan = pembajakan.

Dalam lingkungan kehidupan masa kini ada dugaan awal dari lahirnya pembajakan seni termasuk seni lukis di dalamnya, disebabkan adanya bentuk kepuasan, kebanggan di sebagian orang, ketika anaknya bisa berbuat untuk menirukan gaya orang lain atau karya orang lain.

Yang sangat menyedihkan lagi, ketika seorang pendidik memberi nilai tertinggi ketika peserta didiknya bisa menirukan dengan persis sama, apakah dalam seni suara, seni tari atau menggambar karya orang lain. Ini adalah salah satu bentuk yang meniscayakan kepercayaan diri yang mestinya ditanamkan secara dini. Cara-cara semacam ini seyogyanya mesti diluruskan, agar anak-anak sejak dini sudah terpatri rasa percaya dirinya untuk tidak membohongi dirinya sendiri.

 
Berita Wawasan Seni Lainnya

Video Pilihan


Rin Hermana Ngaku Suka Cabut Saat SMK - CANGKEH PODCAST

SMKN 4 PADANG TERPILIH SEBAGAI SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN

SMK PK Skema Pemadanan “ Kolaborasi Pendidikan Vokasi ...

Peringatan HUT SMKN 4 Padang ke 58

Profil Jurusan Seni Patung SMKN 4 Padang

Tutorial Sketchup membuat Desain Bangku/Kursi Untuk ...

Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...

JAMAIDI PELUKIS SMKN 4 PADANG YANG MENDUNIA
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test