Berita / Wawasan Seni |
Seniman Tak Perlu Mati
Oleh Muzni Ramanto | ||
| ||
Seniman itu manusia itu sudah pasti. Oleh karena itu ia pasti mati. Mati dalam
artian denotatif. Kenyataan itu sudah dipastikan Tuhan bahwa semua mahkluk bernyawa
pasti mengalami mati. Tatkala Tuhan mengambil roh yang bersangkutan dan dibawa
ke rabb serta mematikan jiwa dan jasadnya. Pengertian mati yang lain adalah dalam artian konotatif. Roh dan jasadnya ada namun jiwanya mengalami mati. Semangatnya untuk berkreasi menjadi hilang. Ia tak lagi bergairah dalam berolah seni, walaupun seniman itu dikenal sebagai makhluk yang kreatif. Makhluk yang dapat berfikir lateral, berfikir dengan banyak gagasan, banyak cara dan selalu optimistik. Selalu berfikir dan menciptakan sesuatu jauh ke depan melebihi jangkauan pikiran awam, dan kadang-kadang dianggap aneh karena hasil ciptaannya bukanlah hal yang lazim dan biasa. Dalam perjalanan sejarah seniman sebagai makhluk yang dikatakan kreatif dan selalu berfikir jauh ke depan serta optimistik itu ternyata banyak juga para seniman besar yang mengalami degradasi moral yang akhirnya jatuh ke dalam wilayah putus asa dalam menjalani hidupnya. Kreasi dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya seakan-akan menjadi sirna. Lahirlah apa yang disebut Hamdy Salad sebagai "kesesatan individualistik" yang menjadi mode dan gaya hidup para seniman, sabagai akibat dari ketidakpuasan peradaban. Mereka mengurung segala wacana-wacana, mengurung logika dan kesadaran ke dalam konstelasi neurotik yang tidak teratasi, mereka pergi ke dalam dunia fiksi melalui cara-cara yang absurd (Salad , 2000:6). Strindberg jadi gila. Van Gogh menembak dirinya sendiri hingga tewas. Kafka mengubah kematiannya yang alamiah ke dalam bentuk seni, membakar karya-karyanya di tepi samudra. Virginia Woolf meneggelamkan dirinya ke dalam sungai. Hart Crane meloncat dari kapal uap ke dasar laut Karibia. Thomas Dylan dan Brendan Behan minum anggur sampai mati. Artoud bersembunyi di rumah sakit jiwa. Delmore Schwartz membuang napas di Hotel Manhattan. Cesare Pavese, Paul Celan, Randall, Mayakovsky, Tsvetayeva meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Demikian juga nasib Modiglani, Jackson Pollock, Mark Rothko dan Hemingway juga mengakhiri dirinya dengan menembak dirinya sendiri. Itukah dunia fiksi dengan cara-cara yang absurd yang mereka cari, entahlah. Hal itu tentu mereka yang tahu dan itupun kita takkan pernah tahu. Mereka tidak akan kembali menceritakannya kepada kita. Seniman itu manusia. setiap manusia mempunyai fitrah. Fitrah manusia dikaruniakan Allah bersamaan dengan ditiupkannya roh pada janin dalam kandungan san Ibu, ddalam rahimnya. Fitrah manusia dapat dikategorikan sebagai potensi untuk : 1. Beragama (iman, keyakinan yang bersifat teologis). 2. Berfikir ( pengetahuan yang bersifat empiris ). 3. Berolah rasa (naluri keindahan yang bersifat estetis). Dengan demikian potensi manusia untuk berkesenian baik dalam konteks manusia sebagai abdillah (hamba tuhan), khalifatullah (hamba kebudayaan), sebagai insan (hamba kemanusaiaan), dan sebagai basyar (hamba hati nurani), (Salad, 2000 : 1). Fitrah yang dimiliki manusia sebagai potensi dalam melakukan berbagai perbuatan yang melahirkan kebudayaan itu, mengandung unsur hubungan manusia dengan Tuhan yang menjadikan manusia, hubungan manusia dengan manusia sebagai mitra dalam kehidupan, serta hubungan manusia dengan hati nuraninya sebagai individu. Segala bentuk perbuatan manusia haruslah mencerminkan ketiga unsur tersebut. Karya seni yang diciptakan seniman bukanlah sebuah karya seni yang mesti dinikmati, dipuasi oleh seniman itu sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Ia hanya bicara dengan hati nuraninya saja sebagai basyar, namun ia juga harus berbicara sebagai hamba Tuhan dan sebagai hamba kemanusiaan. Seniman bukanlah makhluk yang angkuh dengan dirinya sendiri, yang memberikan kepuasan diri sendiri, sehingga ia lupa sebagai bahagian juga dari yang lain. Dan mungkin ia terlalu angkuh duduk di atas awan dengan menempatkan diri sebagai makhluk setengah Dewa, sementara melihat masyarakat sebagai makhluk-makhluk yang bodoh yang dibiarkan dalam kebingungan. Dan atau seniman itu sendiri yang memang bingung (Hery Dim, 1995:84). Konsep gagas adalah jawabannya. Gagasan apa yang ingin dituangkan menjadi sebuah karya seni sebagai media komunikasi jiwa si seniman dengan penikmatnya (sharing the artist experience). Persagi dengan konsep "Jiwa Ketok". Seniman Bali dengan kelompok limanya dengan gagasan "Bersentuhan langsung dengan alam". Pelukis Ahmad Sadali dengan teori "Ulil Al-bab". Seni rupa baru dengan konsep "Idiom Khalayak". Fajar Siddik mengemukakan konsep "dinamika gerak" dan yang lain mengatakan biarlah karyanya bicara sendiri. Konsep yang berisikan gagasan adalah isi (content) dari sebuah karya seni yang nantinya akan diekspresikan melalui bentuk-bentuk dengan menggunakan medium tertentu. Penikmat akan mengetahui pesan (message) yang dituangkan si seniman melalui isi sebuah karya seni. Disamping itu pesan dikemas dalam suatu kekuatan emosi atau faktor naratif, pengalaman religius, pengalaman intelektual, pengalaman simbolik, semangat hidup dan nilai-nilai. Lengkaplah sebuah karya seni itu menjadi bermartabat rohani (spiritual dignity). Seniman itu manusia. Ia perlu hidup. Untuk hidup diperlukan perjuangan. Seniman berjuang melalui karya-karya yang diciptakannya. Sebuah karya seni, memang diperlukan untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan martabat manusia untuk menjadi manusia sempurna tentu dalam hal ini termasuk si seniman itu sendiri. Oleh karena itu suatu karya yang diciptakan harus pula dapat memberi hidup kepada sang seniman itu sendiri. Harus ada imbalan finansial terhadap karya seni yang diciptakan itu. Seniman itu akan "mati" pelan-pelan apabila segudang karyanya, namun tak ada yang menghargainya, tak ada yang mengkoleksinya, taka ada yang mau menerimanya. Penghargaan terhadap suatu karya adalah suatu power yang dapat menghidupkan seseorang dalam berkarya secara terus menerus. Seniman memerlukan hidup dalam fisik dan hidup dalam semangat. Karya seni perlu pasar. Pasar yang nantinya dapat memberi "hidup" pada seniman. Herry Dim pernah melontarkan pertanyaan : pasar itu dosa atau perlu?. Memang suatu hal yang kadang bisa dianggap suatu dilematis. Namun disisi lain dapat pula dikatakan bahwa pasar dapat memisahkan antara seniman amatiran dan seniman profesional, diukur oleh kesanggupannya menjual. Pada akhirnya muncullah pendapat bahwa suatu karya itu baru berakhir apabila sudah terjual. Apabila seorang seniman memasuki hukum pasar, maka akan timbul dilema : apakah suatu karya seni itu sesuai dengan selera pasar atau tetp saja selea sang seniman. Hukum pasar mengatakan suatu produk atau jasa haruslah sesuai dengan selera pasar. Dalam hal ini sekarang lahirlah seni massa. Sosiolog seni Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art (dalam Jakob Sumardjo 1995 : 105) membagi masyarakat seni atas empat golongan berdasarkan konteks sosial dan ideologinya, yakni seni elit, seni massa, dan seni rakyat. Seni elit mucul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terpelajar guna memenuhi minat intelektualnya. Karya seni dalam konteks ini adalah karya seni otentik, baru, segar dan penuh kejutan intelektualitasnya. Ia berada dalam kawasan filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Seni populer adalah seni yang banyak penggemarnya, yang fungsinya adalah untuk menghilangkan perasaan jenuh dan bosan yang disebabkan karena rutinitas dalam pekerjaannya. Orang ingin melarikan diri dari kejenuhan dan kebosanan itu dengan sesuatu yang dapat menghibur dan dapat memberikan kesegaran. Seni massa adalah produk seni yang dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat, baik masyarakat awam maupun intelektual. Seni ini bukanlah seni yang sulit-sulit dalam mengapresiasinya. Seni yang mudah dicerna, memberikan kesegaran dan suasana yang humoristik. Seni rakyat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Unsur individu tidak dikenal dalam seni rakyat ini. Karya seni adalah hasil dari kreativitas komunal, namun memiliki keontetikan tersendiri. Seni rakyat didukung oleh masyarakat etnisnya dan simbol serta kebanggaan masyarakatnya. Dalam kondisi negara kita yang masih terpuruk dalam berbagai kesulitan sekarang ini termasuk kesulitan ekonomi, maka seni massa menjadi amat digemari. Hal ini disebabkan oleh karena semua orang ingin melrikan diri dari kondisi psikologis yang menghimpit dirinya. Mereka ingin menghibur diri dengan suasana yang dapat memberikan kesegaran dan kepuasan. Seni pertunjukan seperti ketoprak humor, lenong, ludruk yang pernah digelar di media televisi menjadi amat digemari pemirsanya. Seni Bali adalah seni yang sudah dikenal sejak lama. Keseniannya tumbuh dan berkembang sejalan dengan ketaatan masyarakatnya yang menganut agama Hindu dan tidak tergoyahkan oleh pengaruh turis yang masuk ke pulau tersebut. Semuanya berjalan berbarengan. Seniman terus berkarya dan turispun dimanfaatkan sebagai pasar, sehingga dapat memberi "kehidupan" pada seniman itu. Keserasian itu bisa berjalan karena seniman dan budayawan Bali pada tahun 1971 merumuskan kesenian itu atas tiga golongan yakni "seni wali", "seni bebali" dan seni "balih-balihan". Seni wali adalah seni tarian sakral yang hanya dipentaskan untuk upacara keagamaan di Pura tertentu. Seni bebali adalah tarian semi sakral dan dipentaskan dalam kaitan dengan upacara adat tertentu. Seni balih-balihan adalah seni untuk hiburan, dan dapat dipesan tanpa ada kaitannya dengan upacara agama atau adat. Dari ketiga kategori seni itu dapat dikatakan bahwa ada seni untuk upacara agama, ada seni untuk upacara adat, ada seni untuk hiburan, dan seni yang terakhir adalah seni yang bernuansakan tradisi dan kemasan yang disesuaikan dengan selera massa. Seniman dalam hal ini dapat menempatkan dirinya sesuai dengan kategori seni yang dimainkannya. Dalam hal ini seorang seniman adakalanya memenuhi keinginanya sebagai basyar (hati nurani), adakalany berperan sebagai kalifatullah dan sebagai insan, yang melahirkan karya seni yang dipersembahkan kepada masyarakat dan bila perlu berlaku pada kawasan seni massa. Kesemuanya ada dalam payung abdillah (hamba Tuhan). Kehidupan seniman dalam berkesenian pernah mengalami "boom" antara tahun 1980 sampai tahun 1990, khususnya dalam seni lukis. Pelukis-pelukis mendadak kaya dengan harga lukisan yang mendadak melonjak. Para kolektor banyak yang memburu lukisan tertentu dengan harga yang mencapai tak kurang dari 100 juta per karya. Istilah "boom" dikemukakan oleh Sanento Yuliman. Adapun yang dimaksud dengan boom oleh Sanento Yuliman adalah : perkembangan mendadak dalam kegiatan dagang, dengan adanya perkembangan orang yang kaya mendadak, atau perkembangan cepat suatu perusahaan, atau perkembangan cepat suatu penjualan. "Boom" itu bisa terjadi dalam kondisi ekonomi masyarakat dalam keadaan baik. Dalam kondisi ekonomi masyarakat terpuruk seperti sekarang ini tentulah sangat mempengaruhi seseorang untuk mengkoleksi suatu karya seni dengan harga tinggi, maka yang laku sekarang adalah karya seni massa. Kenyataan itu terlihat dari beberapa kali pameran atau pagelaran seni sepi pengunjung dan tak satupun karya lukis yang dipamerkan dikoleksi pengunjung. Tentunya pertanyaan yang timbul sampai kapan seniman mampu menghidupkan seni, tanpa hidup dari seni. Apakah tidak sebaiknya konsep dalam berkarya meminjam konsep yang disepakati oleh seniman dan budayawan Bali tahun 1971 yang lalu, agar seniman tak perlu "mati". | ||
Berita Wawasan Seni Lainnya | ||
|