Berita / Aktual |
Komunitas Perupa Bukittinggi Antara Eksistensi dan Harapan Masa Depan
Oleh Iswandi | ||
| ||
Kesan letih namun namun rasa puas tampak menghiasi wajah-wajah sekelompok orang yang tengah duduk di teras jam gadang Bukittinggi malam itu. Sambil menikmati kopi panas dan goreng pisang mereka terlibat dalam suasana diskusi non formal sekitar evaluasi perhelatan seni rupa yang baru saja usai. Perbincangan pun kemudian menjurus ke hal-hal yang berhubungan dengan infrastruktur, persoalan pasar, kritik seni rupa dan proteksi kesenian. Mereka adalah para perupa dan panitia pelaksana yang tergabung dalam Komunitas Perupa Bukittinggi ( KPB ) yang baru saja melaksanakan sebuah kegiatan bertajuk Pameran dan Melukis Bersama Peduli Aceh dan Nias.
Itulah suasana minggu malam tanggal 17 April 2005 lalu, sehabis pelaksanaan kegitan pameran dan melukis bersama KPB di Taman Jam Gadang Bukittinggi. Kegiatan yang Cuma berlangsung satu hari mulai pagi sampai magrib tersebut manampilkan lebih kurang tiga puluh karya lukisan. Karya-karya tersebut didisplay pada standar kayu dengan posisi mengitari sebagian taman. Kegiatan ini juga dimeriahkan dengan penampilan musik dari Cita-cita akustik Bukittinggi serta ekshibisi melukis dalam rangka penggalangan dana bagi korban bencana alam di Aceh dan Nias. Walau secara tekhnis pelaksanaan kegiatan pameran dan melukis bersama KPB masih banyak kelemahan-kelemahan serta beberapa saat sempat terganggu dengan turunnya hujan, namun secara keseluruhan kerja keras perupa dan panitia pelaksana beberapa hari sebelumnya tergolong sukses. Terbukti gebrakan awal KPB yang diproklamirkan pada 24 Februari 2005 di Hotel Grand Malindo tersebut sangat menarik perhatian masyarakat pengunjung. Ditambah dengan waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan merupakan ruang public nomor satu di kota Bukittinggi yang setiap hari terutama hari-hari libur sarat dengan pengunjung. Kondisi seperti ini sebetulnya adalah strategi jitu dalam menumbuhkembangkan apresiasi seni rupa terhadap masyarakat. Setidaknya kehadiran KPB dengan kegiatannya menjadi sumbangan besar terhadap keseimbangan iklim seni rupa Sumatera Barat yang selama ini lebih terfokus dikota Padang. Sehubungan Pameran dan Melukis Bersama KPB lebih lanjut tulisan ini tidak akan membahas kelemahan tekhnis kegiatan dan hal-hal yang berhubungan dengan karya. Namun seputar hal menarik dibalik terbentuknya sebuah komunitas seni di kota Bukittinggi, yang pada dasarnya adalah penyatuan idiologi-idiologi individu dalam mencapai satu tujuan. Beberapa hal menarik yang dapat dipelajari dari kehadiran KPB antara lain : Pernyataan Eksistensi Dunia kasenian tidak terlepas dari tujuan dan fungsinya. Bagaimanpun seniman dalam beraktifitas seni bukan sekedar menumpahkan semua ekspresinya kedalam bentuk karya seni. Namun lebih dari itu ada keinginan dan kepentingan-kepentingan lain dibalik semuanya. Salah satunya adalah keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain (audien) baik masyarakat umum ataupun maupun pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang kesenian. Mengharapkan penilaian berbentuk penghargaan bagi perupa memang harus didahului dengan menyatakan keberadaan serta memperlihatkan eksistensinya terhadap kesenian. Memperlihatkan sejauh mana potensi yang dimiliki dan meyakinkan semuanya kalau potensi itu pantas dikembangkan kedepan. Disinilah kerja pemikiran memainkan fungsinya, mengatur strategi dan cara yang tepat. Menentukan langkah yang efisien serta efektif agar dunia seni rupa dikenal secara luas. Kesadaran berkumpul dan membentuk kelompok seni pada dasarnya pernyataan sikap kepedulian seniman terhadap dunia kesenian. Langkah untuk menumbuhkan kesadaran baru bagi masyarakat dan penguasa (pemerintah) terhadap dunia kesenian, khususnya seni rupa. Lebih lanjut fungsi komunitas menjadi bagian dari infrastruktur yang bersifat indenpenden dan partisipasif. Lahirnya komunitas bukan sekedar tempat untuk berkumpul para seniman tapi lebih dari itu merupakan bagian dari infrastruktur seni rupa. Disini komunitas akan mengemban tugas sebagai institusi nilai non formal, dimana para anggotanya dapat saling sharring dan bertukar pandangan. Artinya disatu sisi kehadiran komunitas semacam tempat pembelajaran bagi anggota-anggotanya sendiri. Sisi lainnya menjadi pusat pembinaan apresiasi seni bagi masyarakat. Tentunya untuk mengwujudkan misi-misi diatas perlu pengorganisasian yang struktural diawali oleh kesamaan visi dan misi antar anggota komunitasnya sendiri. Dari uraian diatas terbentuknya komunitas bagi perupa yang berdomisi di kota Bukittinggi adalah suatu usaha menyatakan eksistensi dan keberadaan mereka. Komunitas merupakan wadah yang menaungi potensi dan sumber daya seni rupa yang ada di kota Bukittinggi. Disamping keinginan untuk memetakan sendiri kekuatan yang dimiliki, sekaligus mencoba melepaskan disentralisasi local kekuatan seni rupa. Melepaskan diri dari pandangan konsep seni yang akademis dan seni yang non akademis. Sasaran Proteksi Tumbuhnya komunitas-komunitas melahirkan proses terciptanya demokratisasi dalam kebudayaan. Dimana setiap komunitas yang tumbuh menawarkan pandangan-pandangan berbeda. Keragaman pandangan akan berdampak positif dalam menambah keragaman objek kebudayaan. Demokratisasi kesenian memang harus dilakukan. Pola pikir yang selama ini memandang proses demokratisasi hanya untuk kehidupan politik perlu kembangkan lagi kedunia kesenian. Kesadaran baru harus disuarakan kepada lembaga-lembaga proteksi kesenian (pemerintah, institusi seni, lembaga donor, badan-badan swasta, dll), bahwa komunitas seni sebagai kantong-kantong kebudayaan yang ikut membangun demokrasi budaya. Dalam hal ini ada isyarat bahwa lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga donor kesenian lainnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup komunitas-komunitas seni yang ada. Dibalik lahirnya Komunitas Perupa Bukittinggi, disamping untuk pernyataan keberadaan dan eksistensi para perupa ada upaya menarik perhatian pemerintah kota Bukittinggi untuk peduli dengan seni rupa. Keinginan untuk menjadikan seni rupa sebagai bagian dari struktur dan target pengembangan pembangunan. Lemahnya perhatian pemerintah terhadap seni rupa memang selama ini menjadi persoalan besar. Permasalahannya adalah kurangnya apresiasi yang dimiliki oleh orang-orang yang duduk dilembaga pemerintahan. Sehingga seni rupa terkendala dengan pengembangan infrastrukturnya. Meneropong lebih dekat harapan para perupa Bukittinggi kepada berbagai pihak terutama pemerintah adalah keinginan untuk mendapatkan ruang ( space ). Baik dalam arti ruang secara fisik maupun ruang dalam bentuk non fisik, kesempatan, peluang, dan perhatian lain secara moril. Ruang secara fisik berarti adanya fasilitas tempat bagi mereka untuk dapat selalu berinteraksi, berdialog dan mempersentasikan gagasan dalam bentuk karya sekaligus bisa sebagai tempat pembinaan seni rupa bagi masyarakat luas. Tersedianya ruang seni rupa ( art spice ) yang bisa dijadikan sebagai studio, ruang pamer karya dan sanggar seni rupa. Dalam bentuk yang lebih besar dibangunnya sentral seni rupa ( art centre ) di kota Bukittinggi. Dan rasanya ini tidak berlebihan melihat kondisi Bukittinggi sebagai kota tujuan wisata, ditunjang dengan sumber daya yang cukup memadai untuk dikembangkan. Ruang kedua lebih banyak berupa ruang gerak, dukungan, bantuan dana kegiatan, peluang dan kesempatan. Tak bisa dipungkiri untuk menghidupkan seni rupa dan membangun apresiasi seni ditengah masyarakat memerlukan kerja keras butuh pendanaan. Terkadang kualitas kegiatan ditentukan oleh kelengkapan sarana dan berapa alokasi dana yang tersedia. Kalau memang persoalan seni menjadi permasalahan bersama tidak ada salahnya antara komunitas perupa, pihak pemerintah dan pihak lainnya saling mengadakan kerja sama. Komunitas memiliki kemampuan untuk merancang dan menjadi iven organizer sebuah kegiatan, namun sering kali terkendala dengan sumber dana. Sangat memungkinkan rasanya apabila pemerintah kota menempatkan diri sebagai falisitator dalam artian mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan. Khusus kota bukittinggi dengan segala kelebihannya sangat memungkinkan untuk menyelenggarakan event seni rupa berskala nasional. Menghidupi dan menumbuh kembangkan seni rupa adalah tanggung jawab bersama, butuh kerja nyata dan kerja sama berbagai pihak. Harapan-harapan KPB bukan semata tertuju kepada lembaga pemerintah, namun kepada semua kalangan yang peduli dengan kesenian. Menyinggung persoalan diatas sepertinya menyangkut tentang kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak. Cara terbaik adalah saling memahami kebutuhan serta menyatukan semua kepentingan, menjadikannya dalam satu misi bersama. Menyatukan beberapa kepentingan bukanlah suatu yang gampang harus dicari titik temu yang bisa mencakup semua kepentingan tersebut. Melihat kondisi kota Bukittinggi tidak ada salahnya titik temu yang dimaksud adalah kepentingan pariwisata. Semua tentu harus diiringi sebuah control nilai agar perjalanan seni tidak keluar dari makna sesungguhnya sekaligus pergerakan demokratisasi budaya tidak kehilangan identitas kelokalannya. Pameran dan Melukis Bersama KPB yang baru saja digelar merupakan gebrakan awal untuk kegiatan-kegiatan berikutnya. Keberadaan komunitas ditentukan oleh apa yang disuguhkannya dan sejauh mana mereka meyakinkan semua pihak bahwa misi dan visi mereka bernilai guna. Komunitas juga dituntut untuk menjaga arah pergerakannya. Benturan dan konflik tidak bisa dihindari untuk masa-masa yang akan datang. Belum lagi hal-hal berhubungan dengan aspek kekaryaan yang menyangkut mutu (quality) dan sikap daya tahan dalam berjuang (heroitisme) para anggota dan komunitas secara umum. Manejarial organisasi maupun manejerial kegiatan suatu yang mutlak untuk jadi perhatian. Berkaca dari beberapa kasus banyak organisasi seni yang bubar disebabkan kekacauan manajemen. Melihat kedalam dan intropeksi diri cara terbaik untuk menjaga kesamaan presepsi sambil menyadari bahwa komunitas dibentuk oleh bermacam idiologi individu yang sewaktu-waktu bisa menjadi sumber konflik. Namun selalu menjaga rasa kebersamaan adalah awal yang baik untuk melangkah kedepan, dalam hal ini dibutuhkan sikap terbuka dan saling menghargai. Sangat menarik untuk membahas budaya berkomunitas yang mulai marak di Sumatera Barat akhir-akhir ini seiring dengan menggejalanya seni kontemporer. Tumbuhnya komunitas-komunitas seni juga diiringi oleh terbukanya ruang-ruang alternative bagi para pelaku seni. Perlu pembahasan khusus tentang ini sebab ada wacana-wacana baru dibalik semuanya. Tulisan pendek ini hanya sebatas pengamatan dibalik lahirnya Komunitas Perupa Bukittinggi belum sepenuhnya membahas komunitas seni yang ada di Sumatera Barat. Penulis adalah perupa, Warga Komunitas Seni Belanak Padang dan Komunitas perupa Bukittinggi Sumber : Singgalang, 15 Mei 2005 | ||
Berita Aktual Lainnya | ||
|