LUKISAN PEMANDANGAN, ATMOSFERIK DAN EKSPRESIF

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh muharyadi
Selasa, 08 Desember 2009 10:45:29 Klik: 8129

Banyak orang berpendapat melukis obyek pemandangan hanya semata memindahkan obyek yang ada di alam, kemudian diikuti meniru warna-warna yang ada pada banyak obyek yang dilukis. Bahkan ada yang berpendapat melukis pemandangan alam tak ubahnya seseorang mempergunakan kamera kemudian memotret bagian yang ada di alam sebagai obyek foto, tetapi unsur emosional dan psikologis sebagaimana dikenal dalam lukisan tidak masuk ke dalam obyek foto karena telah diatur oleh teknologi kamera. Maka jadilah ia sebagai foto yang hadir apa adanya.

Anggapan uraian diatas sah-sah saja, karena selama ini bahwa dari kebanyakan lukisan pemandangan alam yang kita saksikan dalam berbagai kesempatan pameran maupun even-even tertentu, lebih melihat obyek secara formalistik yang bersifat teknis, unsur unsur psikologi atau kejiwaan maupun ekspresi pelukis tidak dilihat sebagai totalitas kekuatan lukisan di dalamnya.

Menyoal lukisan pemandangan alam sebagai bagian kerja lukis-melukis yang pernah disiasati banyak pelukis dunia, pelukis besar Cezanne pernah mengklarifikasi lukisan-lukisan pemandangan alam yang dikerjakannya selama ini. Menurut Cezanne ; ”Pemandangan memantul dalam diri saya, menjadi manusiawi dan dapat dipahami”. Artinya, setiap garis haruslah mengungkapkan kelandaian, kesan menjuntai, kepaparan, menyembul, menurun dengan lembut dari bentuk bangun pemandangan. Tujuannya hakiki pemandangan tentulah harus mampu membangkitkan perasaan jelas dan trimatra. Sementara Richard Dawes dalam menanggapi lukisan pemandangan karya Monet berpendapat bahwa, Monet dalam menangkap kualitas cahaya alami merupakan pencaharian seumur hidup sampai akhirnya ia bertemu juga dengan cahaya terang yang murni dari daerah Mediterance.

 

TRADISI LUKISAN PEMANDANGAN ALAM DUNIA

 

Dalam sejarah lukisan pemandangan dunia dari berbagai sumber literatur dan artefak yang ada diperoleh gambaran umum bahwa sampai awal abad XIX hampir dikatakan tidak ada lukisan pemandangan yang mempunyai obyek tertentu yang dikenal dimana obyek dan lokasi tampat pemandangan alam digambarkan sebagai bahasa utama lukisan. Namun demikian hasil-hasil lukisan yang digambarkan merupakan hasil konstruksi atau susunan unsur-unsur yang baik yang diambil dari alam oleh senimannya.

Namun bukan berarti pelukis saat itu tinggal diam dan tidak melukis obyek pemandangan alam yang sesungguhnya. Banyak pelukis dunia pergi keluar rumah, pergi ke hutan, ke ladang atau ketempat-tempat tertentu untuk melukis obyek-obyek yang akhirnya menjadi populer apalagi masa impresionisme muncul kepermukaan. Ditambah lagi dengan diproduksinya cat minyak dalam bentuk tube tahun 1840, maka dengan sendirinya mempermudah pelukis melaksanakan pekerjaannya melukis obyek pemandangan. Hal yang menarik saat itu para pelukis bukan lagi memposisikan unsur-unsur di alam, tetapi telah menentukan pilihan obyek yang baik dan siap dipindahkan kepermukaan kanvas.

Sejarah lain juga mencatat, negara Eropa seperti Inggris sebenarnya memiliki tradisi panjang dalam seni lukis pemandangan alam dan memiliki sejarah penting seni lukis moderen dunia, persisnya saat pelukis dengan mudah memperoleh bahan cat minyak, kanvas dan lainnya untuk menangkap dan memindahkan obyek pemandangan alam kepermukaan kanvas lihat karya-karya Thomas Gainsborough (1727-1788) dan John Constable (1776-1837) dan beberapa nama pelukis lain.

Pelukis Thomas Gainsborough perlakuannya terhadap alam yang khas dan menarik ternyata telah memberi andil besar buat ekspresi romantik Dibanding karya-karya pelukis Poussin yang mengakrabi kecendrungan klasik konstruktif, maka terlihatlah dengan jelas bahwa lukisan-lukisan Thomas Gainsborough ternyata lebih kental ritme dan detailnya tidak terlalu fotografis, terutama jika dibandingkan dengan lukisan pemandangan dari Nederland dengan sifat-sifat romantik di dalamnya.

Lukisan pemandangan Inggris mempunyai ciri khas melalui lemah lembut dan tanggapan terasa langsung, mengenakkan yang tidak bersifat analitik. Kebanyakan lukisan pemandangan alam Inggris tidak berbau klise, melainkan tangkapan yang segar atas obyek-obyeknya. Sementara karya John Constable, menemukan asmosfer dalam karya-karyanya sebagai elemen menarik, misalnya panas matahari seolah-olah dapat dirasakan jika melihat lukisan pemandangannya termasuk lukisan  ”Salisbury Cathedral” yang dapat dirasakan suasana serta emosional pelukisnya, karena lukisan ini terasa teduh, disana ada cahaya katedral bermandikan cahaya matahari. Sesuai sifat-sifat seni, lukisan pemandangan alam Inggris benar-benar terasa pada karya John Constable.

Bahkan karya John Constable yang begitu populer dan digandrungi pelukis Perancis Delacroix berjudul ”The Haywain” (1821). Di lukisan ini sapuan-sapuan kuasnya terasa segar dan ternyata menghasilkan warna-warna yang cemerlang, seperti warna hijau penuh nuansa amat dikagumi pelukis asal Perancis itu. Karyanya yang lain dengan goresan yang lebih bebas dan ekspresif berjudul ”The Leaping Horse” (1824). Karya pelukis Eropa Joseph William Turner (1775-1851), Claude dan Poussin, maupun keromantikan lukisan Rubens serta kalangan pelukis pemandangan alam dari Belanda secara umum rata-rata mereka tertarik pada realitas visual sebagai gambaran atmosferik yang cukup kuat bahkan ekspresif.

 

TRADISI LUKISAN PEMANDANGAN ALAM INDONESIA

 

Sejalan perkembangan seni lukis moderen di tanah air, maka tradisi lukisan pemandangan alam ditandai kedatangan orang-orang Belanda ke tanah air terutama setelah hampir seluruh kepulauan nusantara ini dikuasainya yang merupakan awal perkenalan bangsa Indonesia dengan gaya seni lukis Eropa. Perkenalan ini sebenarnya perkenalan tidak langsung melalui lukisan-lukisan yang sengaja dibawa untuk hiasan orang-orang Belanda juga melalui para pelukis yang sengaja datang karena tertarik oleh keindahan alam Indonesia, diantara mereka –mereka ini akhirnya banyak pula yang menetap di tanah air.

Dari perkenalan itu diketahui gaya lukisan yang mereka bawa dan mereka buat, ditambah munculnya pelukis pribumi yang mencoba mengikuti jejak tradisi mereka bahkan berguru pada seorang pelukis Belgia yang bernama A.A.J. Payen maka tercatatlah dalam perjalanan seni rupa di tanah air, hingga terjadi perubahan yang besar gaya seni lukis tradisional kepada realistis Eropa.

A.A.J. Payen pelukis ditugaskan pada Badan Penyelidikan Pengetahuan dan kesenian di Bogor, tugas sehari-harinya adalah melukis pemandangan-pemandangan yang ada di Indonesia. A.A.J. Payen tertarik pada bakat yang dimiliki Raden Saleh Bustamam yang ketika itu sedang dididik untuk menjadi seorang pegawai Belanda di Cianjur dalam perjalanan melukis di pulau Jawa.

Kemajuan Raden Saleh pesat sekali sehingga A.A.J. Payen yang merupakan guru pertama Raden Saleh berani mengajukan agar Raden Saleh diberi kesempatan mengunjungi Belanda. Selain itu kebetulan juga Inspektur Keuangan Belanda De Linge, memerlukan seorang pengiring yang berkesanggupan berbahasa Melayu dan mempunyai pengetahuan lain tentang kebudayaan Jawa. Pilihan tersebut jatuh kepada Raden Saleh yang telah dididik untuk menjadi calon pegawai pemerintah kerajaan Belanda.

Ternyata bukanlah kunjungan singkat melainkan suatu mukiman yang sangat lama sekali sekitar 20 tahun. Sepulangnya dari pemukimannya di Belanda tahun 1851 kemampuan Raden Saleh mengagumkan sekali sampai orang Belanda sendiri mensejajarkannya dengan pelukis-pelukis mereka sendiri. Saat itu Raden Saleh banyak membuat lukisan-lukisan potret yang dikagumi Belanda selain itu juga senang melukis pemandangan alam Jawa yang diikuti sejumlah pelukis lain di Indonesia. Karya-karya Raden Saleh obyek pemandangan alam diantaranya ; ”Orang berjalan kaki”, ”Kampung” dan lainnya.

Setelah Raden lebih lima puluh tahun kemudian muncul periode Indonesia Jelita atau dikenal dengan sebutan ”Mooi Indie” dengan tokoh-tokohnya Abdullah SR, M. Pirngadi dan Wakidi. Ketiga pelukis dikenal dengan lukisan-lukisan pemandangan alam yang menggambarkan keelokan panorama di tanah air termasuk karya-karya masterpiece Basuki Abdullah. Dari kelompok pelukis asing tercatat nama Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Dezentje, Adolf, Walter Spies, Jan Frank, Locatelli dan lainnya.

Di Sumatera Barat seni lukis pemandangan kemudian juga turut berkembang pesat hingga saat ini, mengingat Wakidi asal Semarang kelahiran Plaju Sumatera Selatan (1879) dan lulusan sekolah guru di Bukittinggi mengajarkan murid-muridnya semasa menjadi guru gambar di INS Kayu Tanam perihal lukisan pemandangan alam di Minangkabau, banyak diantara murid-murid Wakidi yang selama hayatnya menghabiskan waktu dan berkeluarga di daerah ini, menjadi pelukis besar dalam peta seni lukis tanah air termasuk murid-muridnya disejumlah daerah apalagi di Minangkanau.***

 

Muharyadi, pendidik, pengamat masalah seni dan jurnalis tinggal di Padang

 
Berita Budaya Lainnya

Video Pilihan


Profil Kriya Kreatif Batik dan Tekstil SMKN 4 Padang ...

Official Trailer Surga Untuk Mama

Sahabat dan Cinta - Film Pendek - Meraih Nominasi AFI ...

Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...

Hans De Kraker KAMPANYE FILM INDONESIA DI SMKN 4 PADANG

Kucing Ayu Asri

Rin Hermana Ngaku Suka Cabut Saat SMK - CANGKEH PODCAST

DESAIN INTERIOR SMKN 4 PADANG SIAP PASARKAN PRODUK ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test