Minimalis Padang di Lampung

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Erianto, S.Pd
Sabtu, 15 April 2006 14:18:56 Klik: 3773

Pada bidang kanvas yang cukup luas (190 x 150 cm), hanya tergambar tingkah jari sebuah tangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Aksi jari jemari yang berwarna putih ini  hanya berlatar biru yang nyaris datar tanpa objek. Kecuali pada bagian tengah atas tampak setumpuk cahaya yang samar.

Itulah salah satu gambaran dari sebuah lukisan perupa Padang, Amrianis, pada Pameran Seni Rupa Karya Pilihan II di Lampung tanggal 21-26 Maret 2006 yang lalu. Sekilas kalau dilihat dari tampilannya, lukisan ini seakan ingin menggugat  bahwa tak perlu berumit-rumit untuk menyampaikan sesuatu. Satu aksi sebuah jari saja mampu     menyatakan banyak hal. Itulah cara seorang Amrianis memilih simbol untuk lukisannya yang berjudul Ketika Kecil Di Atas yang Besar.

 

Dari 19 karya Perupa Padang yang tampil dalam pameran yang bertajuk Migrasi Tradisi ini,  separohnya boleh dikatakan bercorak  minimalistik. Minimal di sini bukan dalam arti aliran, minimalism, tetapi dari segi padat renggangnya objek, simbol dan warna yang ditampilkan. Apakah ini suatu gejala trendy atau memang sebuah proses pencarian yang alami dari sang seniman, ini tentu membutuhkan kajian lebih lanjut. Meskipun kita tahu bahwa gaya minimalis dalam bidang seni begitu marak akhir-akhir ini.  Untuk seni lukis misalnya, gaya ini  begitu mendapat tempat pada lukisan-lukisan Cina hari ini, dan pasar (publik) pun  merespon dengan antusias. Apakah gejala ini yang mempengaruhi perupa Padang? Apapun jawabannya tentu sah-sah saja. Tetapi yang jelas, ada kecendrungan baru dalam tampilan karya-karya Perupa Padang hari ini.

 

Pada Amrianis misalnya, kecendrungan Minimalistik ini terlihat pada beberapa lukisannya belakangan ini, tepatnya pada lukiasannya yang khusus mengeksplorasi berbagai tingkah jari. Tetapi meskipun minimal dalam tampilan, bukan serta merta minimal dalam pesan. Pada Ketika Kecil  di Atas yang Besar misalnya, judul ini terasa begitu sarkastik, sebuah ironi yang menampar kesadaran alami kita bahwa tidak selamanya yang kecil itu tetap kecil. Kenyataannya kadang justru yang kecil itu bisa lebih berpengaruh bahkan mungkin menentukan. Tetapi kesadaran harfiah kita kadang cendrung menolak kenyataan ini, bahkan hendak mencibir jika tiba-tiba si kecil  menggantikan posisi si besar.

 

Pada bagian lain, Zirwen Hazry hadir cukup menyentak  pada pameran ini. Kanvas besar (145 x 290 cm) tetapi dominan ruang kosong. Lukisan ini terdiri 2 panel. Pada panel pertama tampak seorang bocah sedang tergopoh-gopoh meniti palung-palung  batang pohon. Sedangkan pada panel kedua hanya tergambar tiga buah palung batang pohon yang terletak pada bagian bawah bidang kanvas. Latar  objek hanya bidang kosong dengan warna lembut dan datar. Tanpa gradasi tanpa kedalaman. Nyaris tak ada lagi aksesoris-aksesoris visual seperti pada karya-karya Zirwen pada periode awal (kurun waktu 1995-2004). Tetapi meskipun sunyi dari keributan aksesoris, obkjek yang ada betul-betul digarap dengan sempurna. Citra realistiknya sangat kentara. Dengan menggunakan pencahayaan yang kontras, secara visual lukisan ini cukup menyedot perhatian.

 

Dengan judul Gamang, lukisan ini terang-terngan ingin memperlihatkan betapa sebuah titian adalah sebuah perjalanan yang mendebarkan. “Satu langkah punya arti besar untuk langkah berikutnya!” Demikian Zirwen bertutur dalam deskripsi karyanya. Gamang dimaksudkan bukan sekedar menggambarkan titian biasa, tapi simbolisme dari titian kehidupan. Setiap titian mengandung resiko yang tak bisa sepenuhnya diperhitungakan.   Sosok bocah yang masih lugu dalam lukisan ini seakan menyindir kepolosan kita yang  menapaki kehidupan tanpa perhitungan, tanpa kedewasaan. Mungkinkah seorang Zirwen tengah melukis kegamangannya sendiri?

 

Tampilan lain yang minimalistik juga tampak pada lukisan Dwi Agustyono.Berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang cendrung atraktif, kali ini karya Dwi Agustyono hadir dalam bentuk yang simple dan tidak neko-neko. Ada bola-bola yang seperti terhampar dalam ruang kosmos. Tetapi ruang itu terbagi dalam dua suasana yang kontras.  Yang satu tampak subur dan teduh, sedang    pada belahan lain justru kebalikannya. Suasana dasar lukisan ini tampak teduh,    dengan warna birunya yang lembut dan dengan abu-abunya  yang bersahaja. Tidak ada guratan dan warna yang melenceng dari mainstream.

 

Lukisan ini berjudul Anomali (Kausalitas),  145 x 200 cm. Secara tematik lukisan ini seakan ingin bertutur bahwa ada 2 dua kondisi kehidupan yang sangat kontras. Tetapi  berbeda denngan pemahaman umum,   justru situasi yang tidak menguntungkan kadang   bisa menjadi lahan yang lebih subur untuk bertumbuh. Ironis memang, seperti pengakuan Dwi Agustyono sendiri,  bahwa secara alamiah, lahan  yang subur memang menentukan untuk sebuah pertumbuhan. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari,  situasi kritis dan  penuh konflik kadang-kadang justru  jauh lebih memicu perumbuhan kesadaran dari pada situasi yang elok damai. Sejalan dengan fenomena ini Dwi Agustyono juga terinspirasi oleh pola kebiasaan orang Minang yng suka merantau, dimana rantau merupakan simbol usaha dalam menggapai pertumbuhan yang lebih baik, semacam migrasi tradisi yang bukan hanya bersifat teritorial tetapi juga migrasi kesadaran.

 

Pada bagian lain mari kita simak deskripsi lukisan Herisman Tojes yang berjudul Jalur Kehidupan (140 x 140cm). “Dibalik pertumbuhan ada energi yang berproses dan terus menerus mendesak keluar. Kekuatan itu tidak terlihat, tetapi dalam imajinasi saya bisa merasakan denyutnya.  Deskripsi ini seakan  membawa kita pada  suasana yang penuh vitalitas, dinamik dan energik! Tetapi bila kita lihat karyanya vitalitas itu tidak tampak secara  harfiah, tetapi menyelinap lamat-lamat  di balik  sebuah  irama yang meliuk-liuk . Tidak ada bentuk atau vigur yang jelas, tidak ada lompatan dan kejutan tiba-tiba. Semua unsur visualnya hadir mengalir bagai sebuah simphoni. Apalagi dengan dominasi warna pink lembut pada latarnya yang luas, membuat lukisan ini tampak agak erotis. Bagian tengah lukisan ini, dengan latar merah hati,  seakan mengisap konsenterasi kita pada sebuah rongga  lalu  tergiring untuk mengamati lebih jauh ada apa dalam rongga itu.

 

Yah, sebuah energi besar yang berproses dalam sebuah rongga. Seperti yang dituturkan oleh Tojes sendiri, Jalur kehidupan ini bercerita tentang miniatur kehidupan dalam rahim sang ibu. Hanya dalam sebuah rongga yang sumpek, ternyata  cikal bakal  kehidupan telah dimulai dengan sempurna. Luar biasa! Sebuah isyarat yang mengetuk kesadaran kita akan proses penciptaan Kehidupan.  Inilah yang menggelitik nurani seorang Tojes untuk mengangkat tema-tema seputar wanita dan kewanitaan dalam kebanyakan karya-karyanya. Wanita dengan segala feminiminitasnya ternyata menyimpan  sebuah kekuatan  dan rahasia kehidupan yang mengaggumkan. Dan seorang Tojes pun mengintip dan mencumbunya lewat kanvas.

 

Selain itu, ada kejutan lain yang menghentak. Sebuah lukisan yang berukuran 145 x 145cm. hanya menampilkan permainan garis-garis timbul yang putus-putus, berjejer bak barisan yang melingkar, seperti pemandangan yang terlihat pada tawaf haji. Di tengah hamparan garis-garis yang memenuhi bidang kanvas terdapat sebuah segi empat mungil berwarna emas. Sejauh-jauh garis yang terlihat, iramanya tetap monolitik dan tetap berporos mengitari pusat. Tidak ada kesan untuk mengumbar aksi, kecuali hanya penataan yang hemat dan penuh perhitungan. Dengan permainan tekstur yang kuat dan warna dasar kuning keemasan, (meskipuin di bagian tertentu ada sedikit nuansa hijau, gelap atau terang) lukisan ini tampak bersahaja, tetapi diam-diam seakan mengusik kita dari dalam.

 

Dari judulnya, Rotasi di Titik Emas, lukisan ini mengangkat tema yang kontemplatif. Pelukisnya sendiri, Nasrul, mengakui bahwa visualisasi dan tema lukisan ini memang terinspirasi dari tawaf haji dan garis edar tata surya. Nasrul melihat ada pembelajaran yang hakiki dari prilaku kosmik, bahwa bagaimana pun dan sejauh apapun gerak rotasi planet-planet di angkasa, ia akan tetap mengitari pusat, tak pernah tercerabut dari jalur edarnya. Sedikit saja terjadi penyimpangan dari sistem yang presisi ini, maka terjadilah bencana. Demikian juga dengan kehidupan manusia. Tanpa pusat tanpa tali yang menyatukan keberadaannya, maka manuasia akan terombang ambing. Rotasi di Titik Emas seakan ingin  mengungkapkan bahwa pusat, akar dan rumah eksistensi manusia itu benar-benar ada secara ontologis (hakiki)   dan kita harus menjadi penghuni setia di dalamnya. Suara ini seakan beraroma jihad budaya dari gempuran modernitas. Nasrul menambahkan bahwa adat basandi sarak sarak basandi Kitabullah sebagai filosofi Minang Kabau merupakan pusat rotasi kehidupan masyarakat Minang.  Bagaimana pun gencarnya imperialisme budaya hendaknya masrakatnya jangan sampai tercerabut dari akar rotasinya.

 

Sekedar pemetaan yang temporer, paling tidak itulah beberapa eksponen minimalis dalam seni rupa Padang hari ini yang hadir dalam Pameran Seni Rupa Karya Pilihan II di Lampung, meskipun masih ada beberapa nama lagi yang bisa disebutkan, misalnya: Puti Nurdiati (Kado), Erlanga (Kesederhanaan), Erianto (Centre), Erianto, S.Pd (Anggur Metropolis) dan  Irwandi (Mengurung Putih).

 

 

Kepustakaan:

 

Katalog “Pameran Seni Rupa Karya Pilihan II (Migrasi Tradisi)”, Lampung 2006

Wawancara dengan Perupa terkait, Lampung 2006

Biaro, 30 Maret 2006

Erianto, S.Pd

(Guru SMK N 1 Ampek Angkek)

 
Berita Pameran Lainnya

Video Pilihan


Kemeriahan HUT ke 78 RI di SMKN 4 Padang

Profil Jurusan Seni Lukis tahun 2021

SMKN 4 PADANG TERPILIH SEBAGAI SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN

SMK PK Skema Pemadanan “ Kolaborasi Pendidikan Vokasi ...

SUKSES GELAR PAMERAN SMKN 4 PADANG DAPAT APRESIASI LUAR ...

Film Surga Untuk Mama Karya Siswa Multimedia SMKN 4 ...

Cara memilih sekolah lanjutan pada PPDB Online Sumatera ...

ILM tentang bahaya gadget by Nurul Maisarah
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test