Lingkungan Bermain Hingga Menertawakan Diri Sendiri

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Muharyadi
Selasa, 22 Juli 2008 09:11:25 Klik: 4854
Klik untuk melihat foto lainnya...

Permainan bagi dunia anak dengan segala atributnya ternyata tidak selamanya menyenangkan, menggembirakan atau bahkan mencerdaskan, tapi bermain dapat mempermainkan diri sendiri, adakalanya pula bermain menawarkan mimpi-mimpi yang tak berkesudahan, kadang bermain juga dapat berbalut duka berkepanjangan mungkin sampai memilukan seperti tema yang diangkat pelukis Zirwen Hazry (39 th) melalui karyanya berjudul ”Dream In The Ball” (Akrilik, ball point 145x200 cm, 2008) dalam pameran seni rupa Pekan Budaya Sumatera Barat 2008 di ruang pameran Taman Budaya Jalan Diponegoro, Padang 6 sd 12 Juli 2008.

Bagi Zirwen, satu diantara puluhan pelukis yang berpameran merekonstruksi peristiwa yang pernah dilihat atau mungkin disaksikannya disebabkan kondisi sosial lingkungan dimana si anak berada dan dibesarkan sebagai obyek utama di karyanya. Lihat sosok anak berusia belasan tahun, mengenakan singlet dan celana pendek seadanya dengan rokok dimulut terlihat serius menyodok salah satu bola bilyar menuju bola lain. Sementara dibackround rerumputan menghijau penanda simbol kesuburan ”sang anak” ikut terinjak bahkan terabaikan.
Meski bukan menjadi ukuran sesungguhnya dari sebuah rekaman peristiwa atau penanda problema dunia anak yang ada atau mungkin pernah terjadi di daerah ini bagi tiga pelukis lain yakni Hanafi (27 th) melalui karyanya berjudul ”Inikah Demokrasi” (mixed media, 50x130cm, 2008) dan Cornelis (26 th) ”Main Coklat” (akrilik, 150x200 cm, 2008)  serta Muhammad Ridwan ”Nostalgia” (akrilik, 140x160 cm, 2008) menunjukkan kepada kita betapa sesungguhnya dunia anak adalah dunia bermain yang perlu disiasati dan memperoleh porsi perhatian serius orang tua, keluarga dan lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan.
Ketiga pelukis melalui sosok anak di obyek karya justru bertutur sebaliknya fenomena dunia anak yang terpinggirkan oleh ruang dan waktu sebagai peristiwa menarik di kanvas masing-masing, Hanafi melalui warna-warna berat berfokus pada dua sosok bertolak belakang tertutur tentang demokrasi yang kian mahal harganya sementara Cornelis dan Muhamad Ridwan merekam peristiwa masa lalu melalui penelusuran semangat bermain yang kian terabaikan oleh desakan ekonomi dan sosial. Ketiga karya menawarkan kepada kita betapa sesungguhnya semangat bermain kini menjadi isapan jempol disebagian anak di muka bumi ini.
Namun apa yang dimaknai Amrianis (47 th) ”Permulaan” (akrilik, 150x190, 2008), Dwi Augustyono (45 th) ”Taruhan” (akrilik, 145x145 cm, 2008) dan Harnimal (47 th) ”Tak Semanis yang Dibayangkan” (akrilik, 120x150 cm, 2008) mengajak pengunjung berkomunikasi melalui simbol-simbol, baik sebagai penanda atau lambang yang mengisyaratkan problematika masa lalu, kini dan masa datang.
Bila kita lacak, pada karya Amrianis pelukis yang kerap berpameran pada event-event besar di tanah air ini berwacana dari sebuah permulaan kehidupan ini melalui simbol jari-jari tangan diatas bayangan, jari-jari ini memiliki banyak fungsi dan makna sesuai peran dan tugasnya. Kita pun diajak bersiloroh satu diantara gelitik jari yakni jari tengah membangkitkan gairah libido, terkesan menggelikan. Karya Dwi Augustyono dengan simbol tiga buah dadu berwarna merah dengan dadu besar berobyekan alam yang indah, asri dan elok tanda bagi kemakmuran dan hajat orang banyak ini ternyata justru hanya menjadi taruhan demi kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Kegalauan Dwi Agustyono ditandai fokus center of interest simbol dadu. Lukisan ini sebenarnya jauh lebih menarik jika Dwi Augustyono memanfaatkan ruang dan bidang dengan menempatkan warna-warna berat guna mempertegas obyek utamanya.
Lain lagi pelukis Harnimal menawarkan pesan moral melalui simbol apel. Isu tak semanis yang dibayangkan disimbolkan pada buah apel dengan bayangan yang jatuh dibawahnya. Bila dilacak secara totalitas  seakan menyiratkan kepada kita bahwa tak selamanya apel menjadi buah yang manis, begitu juga dengan kehidupan ini membayangkan hidup ini dengan gampang bertaburan kemewahan, tapi ternyata tak lebih dari onak dan duri. Warna-warna berat coklat kehitaman sedikit kuning pada sisi gelap apel mampu mencitrakan nilai estetika pada obyek utama dengan kecenderungan realis minimalis.
Hingar bingar dan kebisingan kota metropolitan Jakarta dengan segala produktivitasnya mengilhami pelukis Hamzah mengangkat tema ”Memanusiakan Teknologi dan Menteknologikan Manusia” sebagai ikonis kota besar. Bagi pelukis jebolan ISI Yogyakarta yang kini menjadi staf pengajar di STSI Padang Panjang itu memberikan kesan guratan betapa situasi dan kondisi tingginya produktivitas Jakarta baik dari perkembangan teknologi disertai desakan dan tuntutan ekonomi yang menghantui sehingga kota Jakarta tak pernah henti siang dan malam. Lukisan yang berjudul Mentekno dan Menteknoman, (mixed media, 100x150 cm, 2008) menyiratkan kondisi kekinian itu diilustrasikan seperti menertawakan diri sendiri.     
Patronase Wakidi
Kecenderungan kerja lukis melukis dengan penggayaan naturalis masih mewarnai pameran ini. Sebut saja sederetan nama seperti Armansyah Nizar (56 th) , Idran Wakidi (54 th) Abdul Hafiz (49 th), Nazar Ismail (56 th) dan beberapa nama lain. Idran Wakidi dan Armansyah Nizar menjadikan style pelukis besar tokoh Mooi Indie Wakidi sebagai patronase dalam menggarap struktur obyek dan warna, Kedua pelukis merepresentasikan pikirannya tentang hakiki pemandangan alam di Minangkabau dengan mangadopsi rumah gadang sebagai simbol sosial ditengah-tengah masyarakatnya. Warna warna lembut pada lukisan Idran Wakidi dan Armansyah Nizar secara hirarki ingin menangkap intensitas kualitas cahaya alam saat pelukis menghadapi obyek pada pembagian bidang, komposisi, perspektif dan nuansa kabut yang melingkari obyek.
Kesan yang luas pada obyek alam bisa disidik seperti obyek langit, gunung dan hamparan pemandangan di kedua karya pelukis makin mempertegas bahwa lukisan pemandangan yang selama ini banyak digarap pelukis lain tidaklah semata imitatif alam dan suasananya, karena bagaimanapun lukisan pemandangan sebagai manifestasi alam semesta tentulah berangkat dari kumulasi gagasan maupun ide pelukisnya melalui kepekaan estetis pelukis. Pada sejumlah karya lain dalam kecenderungan naturalis di pameran ini turut mempertegas apakah ia estetis atau non artistik perlu disimak sebagai bagian dari kesadaran melukis diantara banyak pelukis yang bermunculan.
Turut berpameran pada pameran kegiatan Pekan Budaya Sumatera Barat 2008 ini diantaranya, Herisman Tojes, Amir Syarif, Am. Y Dt. Garang, Firman Ismail, Syahrial, Irwandi, Jon Wahid, Mindasari dan beberapa nama lain. ***
 
Berita Budaya Lainnya

Video Pilihan


JAMAIDI PELUKIS SMKN 4 PADANG YANG MENDUNIA

Cara memilih sekolah lanjutan pada PPDB Online Sumatera ...

Dirjen Pendidikan Vokasi Bapak Wikan Sakarinto ...

Membuat Kalimat Capaian Pembelajaran di SISFO SMK4 ...

Saka Pandai Sikek ...

Profil Kriya Kreatif Batik dan Tekstil SMKN 4 Padang ...

Behind The Sound SURGA UNTUK MAMA

Terakhir - VideoClip
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test