Genta Plus, Ideologi Kreatif, dan Paguyuban

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Kuss Indarto
Jumat, 14 Juli 2006 08:32:08 Klik: 4137
Tahun 1999, enam seniman yang kuliah di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini – yakni Ardison, Febri Antoni, Gusmen Heriadi, Saftari, Yon Indra dan Zulfa Hendra – merasa memiliki persenyawaan kreatif dan pertalian batin. Lalu bergabunglah dalam satu wadah. Genta namanya, yang dalam bahasa Minangkabau, ganto, berarti “kecil”. Dalam pameran kali ini, 9 Juni hingga 9 Juli di Biasa Art Space, Jalan Raya Seminyak 34 Kuta Bali, ada “perubahan”. Ardison telah mengundurkan diri, dan Febri Antoni sudah berpulang akhir Maret 2005. Lalu ada nama Zulkarnaini masuk sebagai “tamu”, sehingga bertajuk Genta Plus.

Kemunculan Genta ini didukung dua alasan. Pertama, karena kohesi etnisitas, dan kedua oleh musabab alur serta gerak kreativitas yang setara antar-personalnya.

Alasan pertama didukung oleh keberadaan mereka yang berasal dari suku-budaya sama, yakni (Ranah) Minangkabau di Sumatra Barat, dan “nasib” setara, yakni sebagai anak rantau yang mengais pengetahuan seni dan garis hidup di Yogyakarta. Kohesi etnisitas ini tak sepadan dengan spirit ekstra-tribalisme yang dalam kurun waktu bersamaan menghinggapi kecenderungan laku sosial-politik sebagian masyarakat Indonesia kini. Spirit ini cenderung destruktif dan anarkis. Sedang kohesi etnisitas dalam konteks perbincangan ini didasari oleh hasrat untuk merenda kebersaman. Ada semangat komunalitas dengan meminimalkan individualitas.

Sementara alasan kedua, Genta memerlukan ruang kreatif yang dibangun dari kerangka berpikir kreatif yang sama. Masalah ini tentu saja melampaui problem psikologis untuk kemudian masuk dalam problem cara pandang estetik. Sehingga Genta dibangun untuk mengakomodasi kepentingan berkait dengan problem estetik demi progres kreatif ke depan. Namun demikian, saya belum melihat kelompok ini memberikan kerangka pemikiran atas kelompoknya sebagai sebuah “agen” gerakan seni rupa yang lebih kuat dan fokus. Mereka belum memberi pembayangan atas laku kreatifnya sebagai segurat garis “ideologi kreatif”. Memang, itu bukanlah prasyarat mutlak bagi kelompok seni. Tetapi, identitas kelompok dimungkinkan terbentuk dari ihwal tersebut.

Kelompok tanpa “Ideologi”

Dalam lingkar komunalitas seniman Minangkabau di Yogyakarta, Genta bukanlah satu-satunya. Ada kelompok lain, yakni Jendela dan Semut serta lainnya. Dan ada “induk” mereka yang memiliki kolektivitas lebih besar, yakni kelompok Sakato yang menjadi “sanggar keluarga besar” bagi seniman Minangkabau di Yogyakarta.

Genta sebenarnya belum menunjukkan diri sebagai kelompok dengan pencapaian kreatif “fenomenal”. Secara kolektif, titik diferensiasi yang spesifik dalam persoalan visual dan konseptual belumlah kuat dalam “berideologi”. Hingga pameran tahun 2005 lalu, garis “ideologi” kelompoknya belum jelas. Genta masih kuat sebagai “paguyuban”. Tetapi tak berarti jauh dari pengharapan ini. Ini berkait dengan personal Genta yang bertalenta kuat. Di sinilah saya berhasrat membedakan antara capaian Genta secara kolektif, dan capaian kreatif secara personal.

Mereka para kreator dengan etos kreatif yang baik. Juga intensitas kerja dengan jelas mendukung perkembangan estetik yang dicapai. Mereka cukup diperhitungkan dalam peta perbincangan seni rupa dewasa ini. Simak saja curriculum vitae mereka dengan event-event penting yang diikuti. Juga pencapaian seperti masuk sebagai finalis Nokia Art Award, Philip Morris Art Award, atau Beppu Bienalle di Jepang. Dengan demikian Genta kiranya memang lebih tepat diposisikan sebagai paguyuban yang mampu mewadahi kepentingan psikologis ketimbang sebagai ruang untuk menyemai benih “ideologi” berkesenian. Namun kita juga tidak selayaknya mendudukkan Genta pada posisi bawah hierarkhi kelompok dan kecenderungan seni rupa.

Memang – dari cermin sejarah – seniman yang berkelompok dengan landasan “ideologi kreatif” senantiasa melahirkan monumen dan puncak pencapaian. Misalnya gerakan Impresionisme, Fauvisme, Cobra di Barat jaman dulu. Lalu Persagi, Lekra, hingga kelompok-kelompok mutakhir di jaman kontemporer yang terus berkembang.

Pertukaran Gagasan

Genta belum sedahsyat pola pandang para penentu “bandul sejarah” seni rupa dunia dan Indonesia itu. Namun justru di sinilah titik menariknya kita membincangkan dengan sederhana sebuah kelompok yang berupaya membangun dirinya di sela individualisme yang menguat antar-seniman kini.

Terlebih dalam pameran kali ini, saya melihat para perupa membopong perkembangan visual yang menarik. Terlihat kemampuan teknis yang kian piawai. Ini merupakan bagian penting dari upaya perupa untuk memberi fokus lebih dalam terhadap kecenderungan sebelumnya. Perkembangan ini muncul karena persentuhan emosi yang intensif. Pertukaran gagasan mampu memberi nafas baru dalam mengelola energi kreatif antar-perupa.

Karya Saftari, misalnya, pada kesempatan ini menunjukkan pengendapan yang cukup dalam ketika membincangkan keheningan alam. Warna blok hijau atau merah berikut garis-garis horizontal atau vertikal, kemudian dikombinasikan dengan obyek benda semacam batu, serumpun dedaunan, ranting, batu, telah memberi narasi tentang keseimbangan alam. Atau bulir-bulir air yang membentuk ritme melodious. Perupa ini seolah memberi “garis identifikasi” sebagai anak Minangkabau yang menyatu dengan alam lewat slogan ideologisnya: alam takambang jadi guru. Saftari bagai memberi penyadaran bahwa alam terbentang bisa dijadikan guru kehidupan.

Karya bertajuk Harmoni Dalam Seri 7, umpamanya, bagai sebuah “pengingat” kerinduannya pada lingkungan Minangkabau yang telah menjadi masa lalunya. Rimbunnya hutan atau pepohonan, baginya, bisa menjadi ingatan sosial untuk menggagas kembali “gerakan” untuk peduli pada kelestarian alam. Pencapaian estetik ini kian kuat dibanding pada pameran tunggalnya, Ritus Daun, 2004 lalu. Sekarang lebih substansial dalam menyeleksi obyek sebagai “alat bicara”.

Kecenderungan untuk rindu pada alam juga masih kuat menempel dalam karya-karya Febri Antoni. Lukisan berjudul Siang Malam, Kantong-kantong Lebah, atau Kepompong, adalah bagian dari pengamatan sekaligus kerinduannya pada alam yang menginspirasi karyanya.

Simplifikasi Bentuk

Konsep penyederhanaan bentuk dalam bingkai abstraktif mengemuka pada karya Zulfa Hendra. Esensi obyek yang terlihat secara kasat mata di alam diserap dan diterjemahkan ulang lewat obyek-obyek “amorphous” yang aneh tapi menyiratkan keheningan. Warna-warnanya yang lembut mempersuasi penonton untuk mengasosiasikan dengan realitas keseharian. Zulfa bagai “menggoda” penonton dengan menyodorkan realitas yang terkuak dari ruang batinnya untuk dipadankan dengan realitas keseharian.

Kecenderungan menghadirkan “kesenyapan” itu berbeda ketimbang kecenderungan Gusmen Heriadi. Setelah periode abstrak berteksturnya “selesai”, kini suntuk pada tema lanskap kota. Gusmen teliti menggambarkan lanskap kota yang riuh dengan bangunan menutup seluruh tanah, dan hanya menyisakan sebuah sungai kecil di tengahnya berbentuk tanda tanya. Lihat lukisan What. Ini adalah karya bergagasan cerdas dalam membidik problem perkotaan yang kini begitu seksi dalam perbincangan. Kota yang riuh digambarkannya sebagai lanskap senyap dan asing. Inilah representasi dunia batin perupa yang merasakan kota sebagai entitas yang dehumanis. Sedang Zulkarnaini, seperti Saftari, juga menghadirkan simplifikasi yang “sublim”. Obyek bendanya relatif lebih “ekstrem” dengan permainan tekstur tebal untuk memberi penekanan atas obyek tersebut. “Ekstremitas” terletak pada keberanian untuk menampilkan obyek tunggal yang bersahaja dengan warna tunggal (monochrome). Zulkarnaini “nekad” mempersuasi penglihatan penonton untuk mencermati obyek sahaja itu. Ada obyek tentang rumah dalam Home Sweet Home.

Hal nyaris setara dilakukan oleh Yon Indra. Medium karyanya sangat berbeda dengan kawan-kawan Genta lainnya. Dia berupaya mengeksplorasi penglihatan manusia dengan menciptakan karya yang secara arbitrair bisa dikatakan optical ar t . Karyanya dari mika yang dikombinasikan bersama warna-warna tunggal untuk membentuk bidang-bidang lewat kalkulasi matematis. Dari permainan “logika matematis” itulah karyanya dapat direspons secara estetik bersama kemampuan optis manusia yang dinamis. Memang belum serinci Victor Vasarelly atau Bridget Riley. Atau M.C. Escher yang rumit dan terukur. Namun upaya memainkan bidang di dengan optical art itu justru memungkinkan kreasinya tersebut dapat diaplikasikan (sekaligus) sebagai benda fungsional. Saya kira ini bukan merendahkan derajat eksperimentasinya yang dilakukan dengan intens. Justru kelebihan tersendiri.

Meneropong ke Depan

Pameran inimenajadi ajang penting bagi kelompok Genta atau bagi publik. Bagi Genta, inilah etalase pencapaian dalam setengah tahun terakhir setelah pameran Oktober 2005 lalu. Belum banyak progresivitas yang dihasilkan. Tetapi gelagat untuk memberi fokus atas tema-tema yang digagas oleh masing-masing perupa mulai menguat. Ini bisa menjadi titik agenda persoalan yang seyogyanya terus dihembuskan. Misalnya berpameran dengan tema yang fokus sekaligus berusaha untuk membangun “ideologi kreatif” kelompok.

Sedang bagi publik, tuntutan terbesar dari kehadiran kelompok seni rupa, antara lain, adalah munculnya agenda “gerakan kreatif” yang mampu menembus jalan buntu (= kemapanan) yang selama ini dengan gampang terjadi dan ditemui. Kalau hal itu menjadi ruh dalam etos kreatif, kiranya Genta mampu menjadi kelompok seni rupa yang dituruti setiap langkah kreatifnya oleh (kelompok) seniman lain. Genta, atau ganto (kecil) namanya, tapi bisa gadang (besar) yang diperbuat dan dihasilkannya. Tergodakah, Genta?

 
Berita Pameran Lainnya

Video Pilihan


Profil Jurusan Seni Lukis tahun 2021

Wooden Boy - Film Animasi karya siswa SMKN 4 Padang

Surga Untuk Mama

Kendaraan Tradisional Bendi di Sumbar (Film Dokumenter ...

PAMERAN INTERIOR DUA SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN RESMI ...

Film Surga Untuk Mama Karya Siswa Multimedia SMKN 4 ...

MPLS SMKN 4 PADANG

si BUYUNG - Film Animasi karya siswa multimedia SMKN 4 ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test