Berita / Sekolah / OSIS |
Guru dan Perut Kosong ?
Oleh Muharyadi | ||
| ||
Guru mengawas Ebtanas hanya dibayar Rp. 1500,- sampai Rp. 2500,- perhari. Dua orang guru mengajar enam lokal pada satu sekolah dengan puluhan murid, satu diantaranya merangkap kepala sekolah. Guru mengajar di luar sekolah karena bangunan fisiknya rusak. Inilah bagian ilustrasi fenomena profesi guru yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.
Problema lain ; mau naik pangkat guru harus membayar sejumlah uang kepada oknum tertentu dengan berbagai dalih dan alasan, kadang bernada intimidasi dan sinis. Sementara jika ada kenaikan pangkat, gaji berkala, rapel gaji sekian bulan dipotong pula untuk keperluan yang tak jelas asal usul dari mana komandonya. Tapi ia tetap saja ada setiap saat. Dibagian lain, honorarium kelebihan jam mengajar yang menjadi hak guru diluar gaji sekali 6 bulan yang relatif kecil disunat pula. Yang lebih memilukan lagi ada guru mengajar dengan perut kosong karena tak punya uang buat jajan, di kafetaria sekolah, gaji sebulan tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak di rumah. Serta, seabrek lagi masalah yang melingkari guru dan kehidupannya. Nasib "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa"? ini sangat identik dengan bait-bait lagu Iwan Fals yang mengibaratkan nasib guru seperti tokoh Oemar Bakri yang pegawai negeri. Bahkan di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei ini belum ada tanda-tanda perubahan nasib guru, apalagi bicara soal kesejahterannya. Karena kesejahteraan lebih pas disinonimkan bila semua kebutuhan terpenuhi. Kesejahteraan guru hanya ada dalam kampanye partai politik calon legislatif, mulai dari pusat hingga ke daerah bahkan dalam kampanye Pilprespun persoalan pendidikan dan kesejahteraan guru menjadi isu nomor satu. Mengingat guru jumlahnya jutaan di tanah air. Kampanye masalah pendidikan dan kesejahteraan guru kerap menjadi bagian penting partai anu, capres anu. Setelah menang dan berkuasa semua janji tinggal janji. Gaji anggota dewan, para menteri sampai pejabat di daerah dengan segala fasilitas yang melimpah ternyata jauh lebih penting ketimbang guru yang nyata-nyata menjadi kunci penentu masa depan anak bangsa. Akhirnya keluar alasan klasik yang sering kita dengar ; "Sulit bagi negara menaikkan gaji guru yang jumlahnya cukup banyak dengan kondisi keuangan yang serba terbatas"?. Kalau pun terdapat kenaikan gaji dalam angka relatif kecil, biasanya didahului kenaikan 10 (sepuluh) kebutuhan bahan pokok dan lainnya. Akibatnya sebelum kenaikan gaji diterima, guru bagai berselimut kain sarung ; "ditarik keatas kaki tampak, ditarik kebawah kepala nongol"?. Padahal bila kita menengok kebelakang di negara kita, bahwa sesungguhnya dalam catatan laporan East Asia and Pasific yang diterbitkan Bank Dunia beberapa tahun silam, pihak Bank Dunia telah mengingatkan ; apabila Indonesia ingin menurunkan angka kemiskinan rakyatnya secara terus menerus, maka diperlukan dana lebih besar untuk sektor pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana. Pada sektor pendidikan termasuk kesejahteraan guru di dalamnya. Namun menyoal anggaran pendidikan lebih besar dan ditunjang pula oleh dana konvensasi BBM yang sempat menjadi perdebatan alot kalangan pemerintah dan legislatif ternyata bukanlah segala-galanya. Dunia pendidikan serta berbagai komponen lain termasuk guru dengan berbagai problematikanya tetap saja menjadi ajang perdebatan yang tak berkesudahan di negeri ini. Harus diakui secara jujur bahwa di negeri ini profesi guru ternyata kurang diminati. Alasannya sederhana, karena secara materi tidak menjanjikan. Persoalan gaji kecil yang sering dipotong sudah menjadi lagu lama. Tidak adanya fasilitas memadai dan sejumlah masalah lain yang serba kurang. Seandainya guru punya rumah mewah, mobil bagus, ini adalah sebuah keajaiban atau pengecualian. Bisa jadi ia keturunan keluarga berduit atau punya suami/isteri pengusaha, pejabat atau ada usaha besar selain guru, paling tidak mengelola usaha di luar aktivitasnya mendidik dan mengajar. Jarang didengar guru korupsi untuk kekayaan diri. Karena itu kini, tak usah heran jika ada guru menjadi tukang ojek, sopir angkot, pedagang kali lima dan lainnya diluar profesi mendidik dan mengajar. Salahkah apa yang dilakukan guru tersebut ? Tapi manakala peserta didik gagal di sekolah, guru menjadi orang nomor satu yang paling bertanggungjawab. Bahkan nada kesal orang tua pun tak jarang mencela guru ; "siapa guru yang mengajarmu di sekolah hingga membuat kamu gagal ?"?. Dalam suatu kesempatan seminar tentang pendidikan dan guru di Jakarta, baru-baru ini, praktisi dan ahli pendidikan, Prof. Dr. Winarno Surakhmad mengibaratkan nasib guru sangat mudah dijadikan kambing hitam. Alasannya, guru adalah orang yang disiapkan berada di garis paling depan yang setiap saat bertugas dan berinteraksi dengan peserta didik. Kata Winarno, tugas guru melambangkan pertemuan dua generasi, yakni generasi tua dengan generasi muda sebagai lambang kesinambungan masa lalu dan masa depan. Guru diberikan kepercayaan mendidik dan mengajar tunas-tunas harapan bangsa. Guru dalam tugasnya bukanlah seperti seorang operator. Tugas utama guru mendidik dan mengajar. Tapi juga, kita tidak bisa menampik dari kondisi realitas yang ada, karena sebagian kecil oknum guru lebih kental sebagai pengajar ketimbang pendidik. Namun kita tidak usah buru-buru menuduh guru hanya bisa mengajar ketimbang mendidik tanpa pembuktian dan penelitian yang dapat diuji kebenarannya secara ilmiah. Bagaimana pun mengkaji kelemahan guru seyogyanya harus dilihat secara menyeluruh, adil dan bijaksana. Mengingat guru adalah sebuah bagian mata rantai. Mulai dari memasuki dunia pendidikan guru, proses pendidikan guru hingga penerapan dan aksen di lapangan. Belum lagi soal persepsi yang berkembang selama ini terhadap peran guru dari masyarakat dan ditambah lagi persepsi orang tua serta peserta didik yang dinilai berada dalam tingkat mencemaskan. Akibatnya, banyak calon guru yang baik dan berbakat mengurungkan niatnya memasuki pendidikan guru dan kemudian diganti sebagian dari mereka yang tidak berpeluang diperguruan tinggi lain atau lapisan sosial yang lebih rendah memasuki pendidikan guru. Lihatlah akibatnya ?. Menilai secara obyektif kelemahan pendidikan tentulah tidak serta merta terfokus pada guru semata, karena ia adalah sebuah mata rantai yang nyata-nyata tidak berdiri sendiri. Dari totalitas persepsi miris terhadap peran dan posisi guru jauh lebih baik dan bermakna bila dikaji secara jernih dan proporsional. Inii sesungguhnya belum dilakukan secara maksimal ? Kini, yang tersisa dari sisi lain akan profesi guru adalah kebahagian menjadi pendidik dan pengajar secara sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Mengingat guru berada pada kelompok manusia pada akhirnya ternyata juga memiliki kepuasan, kebahagiaan bahkan kebanggaan tersendiri yang tidak dirasakan orang lain manakala mendengar murid-muridnya berhasil dan sukses ditengah-tengah masyarakat. Muharyadi, Guru Pembina di SMSR (SMK N 4) Padang, Seniman, kini berstatus mahasiswa Pascasarjana (S2) program Pengkajian Seni Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sumber : Harian Pagi Padang Ekspres, 8 Mei 2005 | ||
Berita OSIS Lainnya | ||