Potret Kebudayaan dalam karya Seni Rupa
Oleh Syafwandi | ||
| ||
"Seni adalah ungkapan perasaan", demikianlah pernyataan yang sering kita dengar tentang seni. Jika kita renungkan, sesungguhnya ungkapan tersebut memiliki kebenaran. Karena seni itu sendiri memang merupakan ungkapan dari pengalaman-pengalaman bathin. Pengalaman itu kemudian dituangkan melalui berbagai medium seni, yang akhirnya kita nikmati sebagai sebuah karya. Dalam dunia seni rupa, medium ini terungkap menjadi lukisan, patung, grafis, krya serta karya-karya lainnya.
Bagi seorang seniman, berkarya merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Berkarya adalah menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul, baik permasalah yang ada di dalam diri sendiri, maupun berbagai permasalahan yang ada di luar diri. Keinginan-keinginan untuk memecahkan permasalahan itulah yang menyebabkan seorang seniman berkarya. Berbagai permasalahan yang muncul, baik dalam diri maupun yang berada diluar diri, kemudian dialami seniman menjadi sebuah pengalaman bathin. Pengalaman bathin ini selanjutnya berubah menjadi sebuah angan-angan. Akhirnya dengan daya indah yang ada pada seorang seniman, berbagai angan yang ada, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya seni melalui medium seni yang dipilihnya sendiri. Dari ungkapan di atas terlihat bahwa pada dasarnya setiap bentuk karya seni memuat unsur-unsur budaya, karena ia memang terlahir dari keinginan seorang seniman untuk merespon berbagai gejala yang timbul. Baik yang terdapat didalam dirinya sendiri maupun gejala yang berkembang diluar dirinya, atau dalam lingkungannya. Selanjutnya dengan menggunakan berbagai ungkapan yang dipilih seniman sebagai pengandaian lahirlah sebuah potret tentang kebudayaan. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah potret seperti apakah yang ditampilkan seniman dalam menangkap gelora budaya yang terjadi di sekitarnya. Kemudian pengandaian seperti apakah yang dipilih seniman dalam mengungkap berbagai gelora kebudayaan tersebut. Permasalahan dapat disigi dengan menggunakan pendekatan proses cipta seniman dan telaah karya tentang potret kebudayaan serta permasalahannya.
Pekerjaan mencipta merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk menemukan sesuatu yang baru. Hurlock dalam Utami (1988: 2-3) mengatakan bahwa kreatif adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru. Sedangkan Erich Fromm, ahli teori analisis ilmu jiwa dalam bukunya berjudul "The Creative Attitude "¦ mengatakan bahwa : Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk melihat ( menyadari, bersikap peka ) dan menanggapi Chandra (1994: 12)
Lebih lanjut, Rogers dalam Utami (1988: 3) mengatakan bahwa; "Kreatif merupakan munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu disatu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya dipihak lain"?. Dalam pernyataan ini Rogers menekankan bahwa lingkungan merupakan faktor penting dalam proses kreativitas. Lingkungan ikut memberikan andil terhadap karya jalan fikiran seseorang. Dengan demikian karya-karya yang bermula dari proses kreasi, adalah juga hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Seorang seniman dapat pula disebut sebagai kreator, karena ia selalu berkarya, dan selalu mencari sesuatu yang baru. Karya seni lahir melalui sebuah proses cipta yang terjadi di dalam diri seorang seniman. Proses ini diawali dengan munculnya keinginan-keinginan yang melanda diri seniman. Keinginan-keinginan ini muncul karena dorongan yang dating dari dalam diri sendiri maupun dorongan yang datang dari luar. Selanjutnya, keinginan-keinginan yang telah mendapat dorongan tersebut diolah seniman, dengan menggunakan daya estetis yang dimilikinya.
Setiap orang pada dasarnya memiliki daya cipta, namun dalam kenyataannya belum semua orang dapat memanfaatkan daya tersebut. Karena daya cipta itu perlu pula mendapat dorongan, berupa hal-hal yang dapat menimbulkan minat untuk melakukan ciptaan.
Utami (1988: 21) mengatakan bahwa untuk menimbulkan minat kreasi, maka dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu, baik kondisi-kondisi eksternal (dari lingkungan dalam arti kata sempit dan luas, mencakup kondisi sosio-kultural dan politis) maupun kondisi-kondisi internal (pribadi, dalam diri individu) agar dapat muncul, tumbuh dan terwujud menjadi karya-karya kreatif yang bermakna uuntuk individu dan masyarakatnya, kebudayaannya.
Daya cipta seseorang sangat dipengaruhi oleh dorongan yang dimiliki oleh masing-masing diri. Semakin tinggi dorongan yang dimilikinya, maka besar kemungkinan akan diperoleh daya cipta yang tinggi pula. Utami Munandar (1988: 1) menyimpulkan bahwa " Kreativitas merupakan ungkapan unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau perilakunya"?.
Lingkungan bathin, yaitu bakat yang memang telah dimiliki oleh seorang seniman sebagai kodratnya, atau sebagai anugerah dari Sang Pencipta. Kemudian lingkungan budaya, dimana seorang seniman telah tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan tersebut, serta lingkungan luar sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi secara lebih luas.
Selanjutnya proses mencipta juga dipengaruhi oleh keterampilan yang dimiliki oleh seorang seniman. Kemampuan melakukan, baik yang bersifat cara mengerjakan, penguasaan pokok permasalahan, atau apa yang akan dikerjakan, maupun penguasaan bahan dan alat yang digunakan dalam berkarya. Penguasaan keterampilan dan penguasaan pokok persoalan serta penguasaan bahan yang baik dapat memberikan keleluasaan kepada seniman untuk melakukan berbagai kemungkinan dalam berkarya cipta.
Sebagaimana yang dikemukakan Lowenfeld (1956: 81) bahwa: bahan yang bagus dan perkembangan keterampilan memegang peranan penting dalam mengekspresikan seni. Hanya melalui penggunaan bahan seni, ekspresi-ekspresi dapat berkembang. Seperti kata-kata amatlah penting dalam komunikasi lisan dan struktur kalimat serta paragraf penting dalam komunikasi tulisan, dalam seni, seorang seniman harus mengembangkam keterampilan-keterampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan untuk berkomunikasi, dan dia harus mempunyai pemahaman tentang bahan-bahan yang dia gunakan supaya bisa menggunakan kualitas instrinsiknya.
Dorongan lain yang tidak kalah penting adalah tanggapan dan penghargaan, yang datang dari lingkungan seni. Yang dimaksud lingkungan seni disini ialah masyarakat yang menikmati karya seni. Tanggpan dan penghargaan ini dapat diperoleh seniman melalui pameran-pameran yang dilaksanakan. Jumlah pengunjung pada setiap pameran dapat memberikan dorongan yang baik bagi seniman dalam menunjang semangat berkarya cipta. Dengan kata lain, sebuah pameran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kegiatan yang berguna bagi peningkatan karya cipta seorang seniman.
Pembahasan
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, bahwa proses cipta seni sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Baik lingkungan bathin, budaya, serta lingkungan luar seniman. Maka sudah dapat dipastikan bahwa semua pengaruh tersebut akhirnya terhimpun bersamaan dengan daya estetis, yang akhirnya menjadi sebuah karya seni.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang seniman adalah anggota kelompok dari sebuah masyarakat. Sebagai seorang anggota kelompok masyarakat, maka ia hidup dalam tatanan nilai ataupun kaidah yang berlaku pada kelompok tersebut. Seseorang yang berasal dari kelompok masyarakat Jawa, tentulah memiliki tatanan nilai kebudayaan Jawa sebagai panduan hidup bermasyarakatnya. Begitu pula bagi anggota masyarakat Minangkabau, mereka akan hidup dalam tatanan kebudayaan Minang yang memiliki falsafah "alam takambang jadi guru". Jadi, setiap anggota kelompok suatu masyarakat, selalu berpegang kepada nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. Selanjutnya secara bersama-sama atau mereka menjaga dan bahkan membuat sebuah kerangka kebudayaan sebagai jaminan dalam menata gelora perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Guna menjaga proses gelora kebudayaan inilah seniman sebagai salah seorang anggota masyarakat ikut berperan melalui karya-karyanya. Ia bertanggung jawab atas berbagai gelora yang terjadi dalam lingkungannya. Karena pada dasarnya setiap bentuk kesenian selalu memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi kelangsungan gelora kebudayaan dan hidup manusia. gelora budaya inilah yang merupakan salah satu unsur yang melanda seniman, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan untuk berkarya.
Seniman dapat saja memberikan sebuah pernyataan tentang penolakan atau penerimaan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku. Namun demikian, bukan berarti seorang seniman harus mampu memutuskan berbagai gelora yang muncul sebagai sesuatu yang harus ditolak atau diterima. Adakalanya seorang seniman cukup hanya dengan mengetengahkan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya. Selanjutnya melalui karya seni, berbagai gelora budaya tadi akan sampai kepada masyarakat melalui sebuah pameran. Pada saat inilah akhirnya terjadi cengkerama antara seniman dan masyarakat seni. Selanjutnya permasalahan yang sedang di alami oleh seorang seniman menyangkut gelora yang sedang berlaku di masyarakat telah berubah menjadi permasalahan bersama antara seniman dan masyarakatnya.
Senada dengan apa yang dikatakan Utami (1988: 19) bahwa berfikir bebas adalah kreasi yang bebas dari hambatan apapun. Bebas dari segala macam praduga dan streotip. Pada saat ini setiap individu memperoleh berbagai kemungkinan untuk menemukan sesuatu. Masing-masing individu memiliki kesempatan untuk menelusuri berbagai arah yang ada dalam fikirannya. Bahkan mereka mendapatkan peluang untuk menjajaki berbagai alternatif yang muncul. Keadaan inilah akhirnya yang menimbulkan berbagai penemuan baru. Apakah berupa ide-ide baru, ataupun bentuk-bentuk baru, dan lain sebagainya.
Lebih jauh Jakob (2000: 47) mengatakan bahwa sebuah benda seni disebut sebagai seni kalau sudah berada di tangan penanggap seni. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai. Sebuah benda akan disebut seni kalau melahirkan relasi seni berupa munculnya nilai dari benda tersebut. Selanjutnya Jakob (2000: 73) menjelaskan bahwa dalam seni, perasan harus dikuasai lebih dahulu, harus dijadikan objek, dan harus diatur, dikelola, dan diwujutkan atau diekspresikan dalam karya seni. Istilah populernya "perasaan harus diendapkan dahulu". Perasaan itu telah berjarak dengan seniman. Dan, dalam kondisi semacam itu, barulah seniman dapat mengekspresikan perasaannya. Sebab ekspresi perasaan dalam seni hanya dapat terjadi dalam suasana perasaan "sekarang" yang santai, bahkan dalam suasana kegembiraan mencipta.
Dari beberapa uraian diatas dapat kita rangkum, bahwa proses cipta karya seniman selalu beranjak dari pengalaman bathin, yang diperoleh melalui lingkungan, baik lingkungan bathinnya sendiri, maupun lingkungan budaya, dan lingkungan secara keseluruhan. Keadaan seperti ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman prasejarah. Patung-patung menhir yang terdapat di Sumatera Utara, atau patung-patung peninggalan zaman megalitikum yang sekarang dapat kita saksikan di kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah bagian dari potret kebudayaan yang dituangkan melalui medium seni.
Haris Sukendar (1987: 54) mengatakan bahwa arca-arca yang ditemukan di Nias dan Pasemah, menunjukan bukti-bukti bahwa arca tersebut menggambarkan tokoh yang berkuasa atau tokoh yang terkemuka dalam masyarakat. Arca-arca tersebut hanya merupakan lambang atau simbul dari ketua adat atau tokoh yang dimaksud. Masih sulit dikatakan bahwa arca yang bertujuan sakral lebih mementingkan tujuan dan kepercayaan saja tanpa mengabaikan keindahan semata-mata, sedang arca yang digunakan sebagai lambang atau status kepala adat, bentuk-bentuk yang lebih megah dengan keindahan sempurna memegang peranan penting.
Pada zaman berikutnya, yaitu pada masa kebudayaan agama Hindu-Budha di Indonesia, terdapat bangunan candi yang dibuat dengan sangat megahnya. Candi-candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan potret kebudayaan untuk masa Hindu-Budha di Indonesia. Bahkan Borobudur merupakan puncak dari seni bangun kebudayaan Hindu-Budha di dunia. Borobudur merupakan maha karya yang mengungkap tentang kesatuan manusia dalam sebuah tatanan hidup. Sebuah tatanan hidup yang dipandu oleh nilai-nilai budaya yang berkembang pada masa itu. Nilai-nilai tersebut kemudian dinyatakan dalam sebuah seni bangun.
Manusia merupakan kesatuan (per se), segala ciptaannya bercirikan kesatuan pula. Kesatuan manusia tidaklah sempurna. Dia selalu ada dalam jalan integrasi diri yang semakin utuh. Ujud pemersatuan diri selaku makhluk psychoorganis tidak pernah selelsai. Oleh sebab itu keseimbangan tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Bakker (1984: 83).
Candi Borobudur dapat dilihat sebagai ungkapan dari keselarasan hidup masyarakatnya. Keselarasan terpancar dari ungkapan seni bangunnya. Borobudur terdiri bentuk-bentuk yang tersusun secara bertingkat atau berundak-undak. Pengulangan bentuk terdapat pada bentuk stupa yang disusun mulai dari bawah sampai ke undakan paling atas. Pada bagian paling atas terdapat sebuah stupa besar. Stupa ini merupakan pusat atau inti dari semua stupa yang ada. Stupa besar tersebut terletak pada titik pusat bagian atas dari candi. Dari sisi semiotika, keberadaan stupa utama tersebut memiliki makna tersendiri, yang erat hubungannya dengan daya-daya yang berada di luar alam kodrati.
Gambaran di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang janggal antara kemajuan teknologi dengan kendaraan yang digunakan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Latar belakang dari karya fotografi di atas memperlihatkan teknologi yang sudah maju. Sementara di latar depan terlihat beberapa orang yang dalam perjalanan dengan menggunakan unta sebagai kendaraan. Suasana yang sangat kontras terlihat dengan jelas antara kemajuan teknologi yang dicapai dengan kendaraan yang digunakan. Dari satu sisi, dapat saja orang menggunakan unta untuk keperluan rekreasi, atau sekedar bernostalgia. Di sisi yang satunya lagi, bisa saja kendaraan unta memiliki nilai-nilai khusus bagi seseorang atau sekelompok orang. Namun di sisi lain kenyataan ini juga mengungkap bahwa belum semua orang dapat menikmati kemajuan teknologi. Akhirnya, apapun penafsiran yang akan dikemukan tentang kenyataan ini, namun yang pasti, melalui karya seninya, seniman telah menyuguhkan sebuah persoalan untuk dipahami oleh masyarakat.
Karya lukis yang digubah oleh G. Dore ini bercerita tentang kemajuan ilmu dan teknologi yang telah dicapai, khususnya bagi masyarakat kota London, Inggeris. Namun kemudian kemajuan tersebut membawa dampak yang kurang baik terhadap kehidupan bermasyarakat. Dengan kemajuan teknologi, orang mampu membangun gedung-gedung yang megah, membuat pesawat terbang dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain ternyata keadaan ini berakibat terhadap meningkatnya jumlah pengangguran. Sehingga pada gilirannya masyarakat kelas bawah menjadi semakin terhimpit, bahkan mereka kehilangan lahan untuk tempat tinggal. Akhirnya mereka mendirikan gubug-gubug sebagai tempat berlindung di sisi bangunan megah hasil teknologi maju tersebut.
Kesenjangan hidup inilah yang ditampilkan seniman dalam karyanya. Kesenjangan ini digubah sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pokok dalam berkarya, bagian-bagian terkecilpun ditampilkan oleh seniman dengan sangat cermat. Selanjutnya karya lukis ini mencoba mengajak pemirsanya untuk memahami arti kemajuan secara lebih dalam. Apa sesungguhnya makna kemajuan bagi keselarasan hidup manusia pendukung kebudayaan.
Dalam mengungkapkan keinginan serta pengalamannya , seniman memanfaatkan berbagai macam bentuk pengandaian. Pilihan seorang seniman terhadap pengandaianyang digunakan sangat bergantung kepada kecendrungan dan gaya masing-masing seniman. Namun demikian, semua pengandaian yang dilahirkan seniman merupakan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu sesuai dengan pengalaman masing-masing seniman dalam merespon berbagai fenomena yang terjadi disekitarnya. Sebagaimana pengandaian yang ada dalam bidang seni suara atau seni sastra, maka dalam seni rupa pengandaian ini menjadi lebih nyata. Hal ini disebabkan karena seni rupa itu sendiri merupakan sebuah cara ungkap yang menggunakan bahasa rupa. Pada seni bangun sebagaimana yang telah diungkap pada bagian terdahulu terlihat bahwa struktur bangunan yang diciptakan merupakan gambaran dari keselarasan yang terdapat dalam masyarakat. Keselarasan ini ini kemudian diungkapkan sang arsitek melalui struktur bangunan yang tertata dengan baik. Bangunan tersebut merupakan simbol dari nilai yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat pada masa-masa tertentu. Begitu pula dengan bangunan-bangunan megah yang dideretkan bersamaan dengan gubug-gubug yang digambarkan oleh G. Dore dalam karyanya, Dore memilih objek bangunan yang megah dan gubuk sebagai pengandaian dari kesenjangan sosial yang terjadi akibat kemajuan ilmu dan teknologi.
Simpulan
Seni merupakan ungkapan pengalaman bathin yang dituangkan seniman melalui media ungkapnya. Sebagai sebuah pengalaman bathin, seni selalu hadir dengan muatan nilai yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia dan alam semesta.
Seni rupa sebagi sebuah media ungkap, berbicara dalam bahasa rupa. Ia hadir dengan berbagai bentuk pengandaian, sesuai dengan pilihan dan daya keindahan seorang seniman. Salah satu bentuk nilai yang terdapat dalam ungkapan seni adalah kebudayaan. Seni merupakan ungkapan dari cerminan cipta, karsa dan rasa manusia. Seni merupakan potret kebudayaan yang selaras dengan ruang dan waktu yang dilaluinya. Melalui karya seni kita dapat memahami gelora budaya yang terjadi, baik pada waktu lalu, sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Semua itu dikemas seniman dalam sebuah bingkai keindahan yang disebut dengan karya seni.
Daftar Bacaan
Bakker SJ, JWM. 1984. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta; Kanisius.
Haris Sukendar.1987. Konsep Keindahan pada Peninggalan Megalitik. dalam: Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Diskusi Ilmiah Arkeologi II ); Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Lowenfeld, Viktor. 1956. Creative and Mental Growth. Rev.ed. Nem York. The Macmillan Company.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung; Penerbit ITB
Suwono, Bambang. 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Jakarta; Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Utami Munandar. SC. 1988. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kreativitas. Dalam Kreatiftas Sepanjang Masa (Utami Munandar. SC. Ed). Jakarta; Pustaka Sinar harapan.
Biodata Penulis:
Syafwandi, Lahir di Payakumbuh 24 Juni 1960. S1 Pendidikan Seni Rupa (1985), mengikuti pendidikan Seni Patung dan Furniture di Jepang (1994 "“1996) S2 Jurusan Seni Rupa ITB Bandung. | ||