Berita / |
Rupa Rupa dalam Kuak Rupa
Oleh Ady Rosa | ||
| ||
Pameran seni rupa dalam bingkai "Festival Budaya Minangkabau"?, memungkinkan muncul multi tafsir. Bisa jadi punya sangkut paut dengan seni rupa yang setangkup dengan budaya Minangkabau lewat identitasnya, atau perupanya harus orang Minang, bahkan corak seni rupa yang mungkin memiliki ikatan dengan manusia Minangkabawi, dan sebagai yang beralur pada etnisitas.
Interpretasi tersebut sah-sah saja bisa muncul, karena sebuah gelaran pameran yang diikat dengan nuansa etnik, mesti punya arah kesana. Namun begitu, sebuah interprestasi dapat membuka ruang telah dan tidak mengerdilkan pemahaman khalayak, yang disebabkan karena gelaran rupa yang menempel pada sebuah festival. Sebab inti dari bagian sebauah rupa yang diikat dengan festival yang bernuasa etnik, lebih pada kajian apresiatip yang memungkin khalayak bisa mencerapkan.
Pameran seni rupa dalam konteks alek nagari yang yang disebut Festival Budaya Minangkabau 2004, merupakan sebuah sebuah pameran biasa dalam kekondisian yang dapat menghibur khalayak lewat kasat mata untuk mencermati rupa-rupa dari perupanya. Oleh sebab itu rupa-rupa dalam festifal ini, bukan berarti sebuah karya mesti mempunyai simbol yang bermakna etnisitas belaka. Meski muncul beragam ekspresi yang dimiliki para perupa, karena rupa-rupa yang digelar dalam pameran ini, adalah bicara dalam bahasa rupa yang memungkinkan lahirnya kebebasasan perupa dalam berekspresi, yang digarap dan dikembangkan oleh masing-masing perupa itu sendiri. Tidak ada indroktrinasi bahwa perupa mesti harus punya keseragaman, yang bisa menjerat kemandulan dalam berekspresi, bahkan bisa menjerumuskan ketika posisi perupa dihadapkan kepada pilihan-pilihan partai yang memayungi. Dan ini cukup terjadi pada masa-masa tahun 1965. Karena rupa-rupa yang tampil dalam pameran kali ini, adalah bagian dari dinamika budaya yang bukan cakrawala baru baik intelelektualitas maupun kualitas perupa ketika menambatkan nilai-nilai estetika pada rupa-rupa karyanya. Perupa tidak lagi diikat dengan suasana tradisional yang komunal, tapi nuansa konterporer yang individual. Namun dalam perjalanan kesenirupaan para perupa masih banyak memakai bahasa ibu, sebagi intuiosi ketika mereka berrcipta seni rupa. Pergeseran dari rupa trdisional ke kontemporer di ranah minang, dirintis oleh orang sumando yang bernama Wakidi (1890-1987). Orang sumando ninikmamak dan bukan lapiak buruak, langau hijau, naupun kacang miang. Wakidi orang yang punya kepedulian terhadap seni rupa di ranah Minang, dan menjadi suluh berkembangnya seni rupa. Dan ini ditujukkan dengan sikap yang mau bertahan dan mengapdikan dirinya di ranah Minang, sehingga Wakidi ditawarkan oleh gurunya Van Dijk di Kweek School untuk belajar melukis di negeri Belanda ditolaknya, begitu juga ketika Bung Hatta melalui sekretarisnya pribadinya (pak Wangsa) untuk pidah ke Jakarta, beliau tetap bersikukuh secara halus mengatakan bahwa vedute natura di Minangkabau lebih kuat menghibaunya. Ini semua terekam dalam karya-karyanya dalam realitas sosio kultura masyarakat adat (indigenous people) Minangkabau, karya-karyanya banyak tersebar di Tanah Air maupun di mnca negara. Wakidi adalah sang maestro naturalistik, dan generasi kedua pelukis di Indonesia setelah meninggalnya Raden Saleh (1807-1880). Kepergian wakidi memberi nuansa baru dalam rupa-rupa kovensional seperti naturalistik "?Mooi Indie"? yang digerakkan Wakidi pada mirid-muridnya, sampai perupa muda yang dinamik dengan sorot pandang rupa-rupa kontemporer dengan ketajaman intelektual. Tidak lagi melihat rupa-rupa sebagai hal yang biasa yang diikat dengan idiom-idiom baku, seperti pada masa Wakidi tapi sudah merambah pada persoalan-persoalan kondisi kekinian muali dari soal ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Semua adalah tembus pandang ekspresi perupa, ketika semua itu terjadi tataran yang tidak lagi kondusip. Perupa memang harus jeli dan peka, karean tidak lagi diikat dengan kebakuan. Semua itu terlahir melalui sebuah proses, dari tahapan satu sampai ketahap yang berikutnya. Oleh karena itu kalau di sigih maka maka perjalan seni rupa di ranah Minang memiliki tiga fase : (1) Masa perintis yang dilakoni oleh Wakidi, melalui naturalistik "Mooi Indie"? yang dominan menggambarkan kondisi realitas sosio kultura di ranah Minang; (2) Masa pergerakkkan yang ditandai dengan keberadaan Seniman Muda Indonesia (SEMI), bediri di Bukittinggi pada tahun 1946 dengan tokoh-tokohnya A.A. Navis, Ramli Djuaita, Zetka, Montigo Busye dan kawan-kawan. Masa ini menunjukkan adanya kepedulian seniman terhadap ranah budaya, yang berimplikasi pada kekondisian yang bisa merangsang lahirnya seniman-seniman muda; (3) Masa pembaharuan, masa ini ditandai dengan lahirnya pendidikan seni rupa di ranah Minang, yang di mulai dengan INS Kayutanam, Jurusan FBSS UNP, SMK N 4 (SSRI), dan STSI Padangpanjang. Lewat pendidikan formal ini tidak sdikit sumbangsih yang diberikan pada dunia seni rupa di Tanah Air, yaitu melelui para perupanya. Kemunculan pendidikan seni rupa secara formal di ranah Minang, karena pulangnya "anak rantau"? dari ASRI Yogyakarta dan ITB Bandung, yang membuka nuansa baru dalam kesenirupaan dan berimplikasi pada keragaman corak yang memungkinkan semakin semarak. Ragam pencapai priadi melaui estetika, memunculkan adanya rupa-rupa yang digndrungi perupanya sendiri. Perjalanan perupa yang berbasis pada kepekaan intuisi, indera an intelektual, ketika mnangkap objek yang imajiner, mestiditebar melalui sentuhan ekspresi lewat ragam warna maupun medium yang disenanginya. Itu semua untuk terapainya kualitas identitas,yang bis memberi pemahaman posisi antara rupa karya dan perupanya merupakan kemanunggalan. Perjalanan menuju pencapaian ualtas idenitas pada sebuah karya butuh waktu, kaena mesti berproses. Dalam pameran yang digelar tnpa tematik, lebih memberi ruang paa perupa untuk memilah-milih rupa-upa yang dianggap punya kualitas, punya makna dn berjatidiri, oleh perupanya sendiri. Dari rupr-rupa yang tampil pada pameran yang dibingkai pada Festival Budaya Minangkabau 2004, penekanannya hanya melalui restrospektip sebagai telaah alua jo patuik, bahwa rupa-rupa tersebut layak tampil.Pameran seni rupa yang gelar tidak hanya diikuti oleh perupa yang berdomilisi di Sumatera Barat (ranah Minang) saja, tapi juga diikuti dari perupa yang asal ranah Minang dari Yogyakarta, Jambi, Jakarta, dan Pekanbaru. Karya-karya yang tidak asing mulai dari Wakidi, Tarmizi, sampai para perupa yang brkiprah komunitas-komunitas seni rapa Pentagona, Belanak, Suluah dan Rumandung. Tapi dari sebuah pameran yang beragam seperti ini, mulai dari corak Wakidian sampai yang bernuansa kontemprer, dan kaligrafi yang Islami, utamanya lebih kepada nuansa "silaturrahmi"?. Namun begitu tidak juga bisa diabaikan bahwa rupa-rupa punya makna, manakala rupa-rupa memiliki identitas kualitas. Seperti yang dimiliki perupa mapan dalam pameran ini, yang ditandai sudah dikenal luas oleh khalayak, karena sudah sampai pada satu titik, yaitu rupa-rupa sebagai cerminan diri yang telah menjadi indeks dan ikon. Sebab untuk khalayak hanya tinggal mengapresiasi secara kasat mata maupun lewat intuisinya, ketika berhadapan dengan rupa-rupa yang digelar pada pameran seni rupa yang dibingkai dengan Festival Budaya Minangkabau. | ||
Berita Lainnya | ||