Menyibak Realitas Sosial Dalam Kanvas Hendra Sardi
Oleh Muharyadi | ||
| ||
Baru-baru ini datang kepada saya seorang anak muda. Ia ingin memperlihatkan puluhan karya lukis hasil goresan tangan dari pergulatan kreativitasnya dalam beberapa tahun terakhir yang katanya siap, dipamerankan. Siapa gerangan anak muda itu ? Ia adalah Hendra Sardi (32 th), lelaki asal Magek Bukittinggi, kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1972 yang dalam pengakuannya sejak 3 tahun terakhir terus berkarya, apalagi setelah lelaki berpostur kurus tinggi dan berambut gondrong lurus ini mendirikan sanggar lukis "Hendra"s"? di propinsi Bengkulu (1994) dan sanggar "Sulthan"? (2001) di kota jam gadang tersebut, disela-sela aktivitas pekerjaan seni lainnya baik semasa di Bengkulu (1994-2000) dan di Bukittinggi (2000-hingga sekarang), kegiatan lukis-melukis di tangannya terus mengalir. Semula saya tidak sepenuhnya yakin akan ucapannya untuk berpameran. Mengingat dalam frekwensi dan aktivitas dunia seni lukis Sumatera Barat, nama Hendra Sardi tak pernah disebut-sebut, baik dalam pameran individu maupun kolektif. Setelah salah seorang guru di SMSR (SMK Negeri 4) Padang, Nazar Ismail (52 th) yang juga pelukis, pematung dan pemilik rumah seni "Rumandung"? di kediamannya, Jl. Kampung Durian, RT 03/06, No. 23, Kelurahan Parak Gadang Timur, Padang membenarkan rencana Hendra Sardi berpameran. Malah untuk pameran tunggal perdana Hendra Sardi ini "Rumandung"? menjadi fasilitator pameran yang didukung berbagai pihak. Mulai dari sponsor, kepanitian pameran dan lainnya. Mengingat Hen baru pertama kali berpameran yang sebelumnya tidak pula diikuti kegiatan pameran bersama disamping tuntutan manajemen pameran juga menjadi acuan kegiatan ini, ujar Nazar Ismail yang juga guru saya semasa di SSRI/SMSR Padang (1977-1981). Saya pun kemudian mulai yakin. Keyakinan itu bertambah setelah saya menyaksikan langsung puluhan karyanya yang siap dipamerankan di kediamannya, Magek Bukittinggi serta kerja pihak Rumandung sebagai penyelenggara pameran beberapa waktu lalu. *** Keinginan berpameran tunggal bagi lelaki berpendidikan terakhir SMSR Negeri Padang, jurusan seni patung (1992) ini setelah bertualang sebagai pekerja seni selama lebih dari 10 tahun, memang sangat tinggi, ujar Hendra Sardi yang akrab dipanggil Hen. Rasanya sangat rasional dan masuk akal keinginan tersebut. Namun sebuah pameran "? lebih-lebih pameran tunggal "? tentulah tidak semata menampilkan segi kuantitas karya kepada publik. Karena masalah pertanggungjawaban dari sikap dan konsistensi berseni lukis menjadi alat ukur keberhasilan suatu pameran, disamping faktor teknis serta kemampuan merespon berbagai peristiwa dan gejala alam yang berangkat dari ragam persoalan/peristiwa kehidupan yang diamati dan disiasati Hen secara konseptual dan tematik sangat menentukan. Adakah Hendra Sardi menuju kesana ? Jawabnya tentulah tidak sederhana, barangkali Hen dan karya-karyanya yang bisa menjawab dengan segala pergulatan wilayah kreativitas dan produktivitasnya berseni lukis. Menyaksikan puluhan karya-karya Hendra Sardi, kita dapat menyidik setidaknya terdapat semangat produktivitasnya yang tinggi mulai tumbuh dalam menggagas berbagai peristiwa yang diresponnya dari alam dan lingkungan ia berada. Modal teknis, latar belakang pendidikannya selama ini di SMSR Negeri Padang, baik menarik garis, bermain warna, mengatur komposisi/balance dan lainnya tampak lancar dipermukaan kanvas, bahkan tak kehilangan greget nilai estetis dan artistik. Kecuali persoalan isian, konsep dan tema yang digarapnya perlu pendalaman studi lebih jauh. Kecendrungan naturalisme, realisme maupun impresionisme pada karya-karya seni lukis dewasa ini seringkali menjadi kecendrungan banyak perupa di tanah air, termasuk Hen sebagai pendatang baru. Sebagai warga baru untuk berpameran tunggal buat pertama kalinya lukisan Hendra Sardi dengan segala kelebihan dan kekurangannya tentulah punya niatan tidak semata ingin menonjolkan aspek estetis dan artistik, karena diperlukan pergulatan kreativitas dan isian dengan pemaknaan yang berarti yang diresponnya dalam kanvas. Hal ini memang sedang dirintisnya dalam sejumlah karya, meski ada yang belum tuntas bahkan kadang mengambang, malah terasa gagap. Tapi itulah Hendra yang terus menggagas dan merespon alam dan kehidupan serta gigih berkarya. *** Ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di kota dan desa segalanya bisa terjadi. Di kota misalnya kehidupan sangat komplek mengingat kota menjadi tumpuan banyak orang untuk memperbaiki hidupnya. Sebuah kota mempunyai daya tarik bagi banyak orang untuk memperbaiki hidup dan nasibnya. Di desa betapapun jauhnya juga menjadi tumpuan banyak orang. Alam yang indah, subur serta menjanjikan banyak harapan menjadi harapan banyak orang yang tak kalah menariknya dibanding kota. Kota dan desa sangat fenomenal untuk didiami/ditempati banyak orang seperti yang menjadi wacana dalam lukisan Hendra Sardi. Sejumlah karya yang bertutur tentang kondisi sosial masyarakat ditengah-tengah kehidupan kota dan desa direfresentasi Hen di kanvasnya. Lihat lukisan "Pasar Magek"?, cat minyak, 64 X 50 cm (2002), "Parantian"?, cat minyak, 60 X 46 cm (2004), "Terkontaminasi"?, cat minyak, 90 X 108 cm (2004), "Takana Jo Lasuang Gonjek"?, cat minyak, 91 X 72,5 cm (2003), "Ota Lapau"?, cat minyak, 95,5 X 69 cm (2003), "Bakuah Kuniang"?, cat minyak, 60 X 45 cm (2003), "Menunggu Marapulai Tibo"?, cat minyak, 88 X 65,5 cm (2003). "Jangan Lagi Kursi Plastik"?, cat minyak 90 X 72 cm (2004) dan "Tagak Penghulu"?, cat minyak, 60 X 46 cm (2004) adalah beberapa contoh fenomena kehidupan masyarakat kota dan desa yang direkam Hendra Sardi di kanvasnya. Bila diamati satu persatu karya Hendra, terdapat kecendrungan bahwa dalam visualisasi seni lukis, ia tidak menggambarkan masalah sosial dengan masyarakat sebagai tokoh, tapi lebih merupakan sebuah ide dan konsep konstruktif yang abstrak. Yang lantas disiratkan adalah tanda (semiotika) sebagai perumpamaan dalam karya-karyanya sebagai konsep mengoperasikan gagasan guna mencapai nilai estetik berupa hasil atau wujud yang sesungguhnya. Sebagai pemula saya tidak akan megeneralisasi kadar dan kapasitas karya Hen dari awal hingga karya terbarunya, karena kita belum memiliki referensi maupun literatur perjalanannya selama ini. Lihat lukisan "Jangan Lagi Kursi Plastik"? dimana obyek kursi berwarna hijau digambarkan rebah dengan sosok anak sedang termenung, seekor kucing pun terdiam dalam rumah tua, menjadi persoalan yang perlu dijawab. Mungkinkah kursi ini sebagai gambaran kursi yang dicari para pemimpin untuk kekuasaannya atau kursi dalam tanda (sign) umum ? Tentulah bisa diterjemahkan dalam berbagai penafsiran ! Dua lukisan "Ota Lapau"? dan "Tagak Penghulu"? merupakan peristiwa keseharian ditengah-tengah masyarakat di daerah Minangkabau. Pada Ota Lapau, bisa diwacanakan dalam berbagai hal, mulai dari masalah ringan sampai kemasalah politik yang menjadi cerita menarik didiskusikan diberbagai kesempatan, apalagi di lapau disela-sela minum kopi atau menenggak teh panas menjelang berkerja atau waktu istirahat. Sementara Tagak Penghulu merupakan peristiwa adat yang tak luput dari pengamatan Hendra Sardi di karyanya. Sama halnya dengan banyak seniman (pelukis) di daerah ini, tentulah kita dan bahkan Hendra sendiri adalah bagian dari masyarakat. Karena itu Hen, apakah sudah layak disebut sebagai seniman atau calon seniman dalam kerja lukis-melukis tentulah ia (akan ?) selalu menajamkan kepekaan akan keadaan sosial dan menggali pengalaman bathinnya, dalam mencapai kebenaran dan kejujuran pada nurani. Jika kebenaran dan kejujuran telah tercapai ia sekaligus mencapai nilai estetis dan artistik. Yang menggelitik saya, bagi Hen mungkin belum menyadari sepenuhnya sikap dan konsistensinya akan kerja lukis-melukis dalam tiga tahun terakhir seperti yang tercermin dalam karya-karyanya. Ia baru masih sebatas berada dalam proses pencaharian. Walau disadari proses pencaharian kadangkala sering tak terduga hasilnya, bahkan bisa jadi cendrung tak terbatas. Dalam priode tahun yang sama seperti kita lihat di karyanya kecendrungan Hen cepat berubah-rubah, adakalanya ia melukis realisme, belum selesai dan tuntas Hen melompat ke impresionis. Lihat karya-karyanya ! Walau diakui hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar sejauh ia tidak kehilangan jati diri, sikap dan konsistensinya dalam melukis. Meski disadari sebenarnya proses pematangan disalah satu kecendrungan menjadi bagian terpenting karya-karyanya. Dalam teori Emile Durkhelm disebutkan, bahwa nilai seni "? juga seni lukis "? pada hakikatnya tergantung pada segi pandang yang kita ambil. Dari segi sosiologi, jelas seni itu sebenarnya tidak ada artinya atau merupakan kegiatan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan, karena dinilai merupakan suatu kemewahan yang tidak ada harganya. Tapi jika dilihat dari sudut estetisme, maka kita akan berkecendrungan beranggapan bahwa seni merupakan satu-satunya keberadaan yang tidak dapat diganggu gugat. Benarkah demikian ? Mengingat seni "? sepertinya juga seni lukis "? merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia untuk memperluas dan menganekaragamkan kegiatannya. Maksudnya, hal ini dilakukan hanya untuk membuat dirinya senang, tanpa menyadari sepenuhnya apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai. Kata Durkhelm, kegiatan seni baru dapat dikatakan sehat apabila dilakukan dalam batas-batas kewajaran, artinya tidak melampaui batas-batas kesungguhan melakukannya. Dalam lingkup mana sebagai pendatang baru seni lukis Sumatera Barat Hendra Sardi berada ? Perlu pengkajian dan penelitian mendalam dari apa yang digelutinya selama rentang waktu yang relatif singkat. Kita menyadari kehadiran Hendra Sardi sebagai individu berjalan seiring dengan keberadaan masyarakatnya di daerah ini yang selalu cendrung berubah dan berkembang. Secara teoritis, perkembangan seorang seniman atau pun calon seniman biasanya didahului pada penggunaan bahasa ungkapan yang umum menuju kepada pengembangan bahasa pribadi. Karena ia bertolak dari idiom umum untuk kemudian setapak demi setapak melepaskan diri dari formula-formula konvensional atau stereotipis. Bagaimana pun Hendra Sardi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah mencoba merefresentasikan karya-karyanya kedepan publik yang pada gilirannya turut memperkaya khasanah dunia seni rupa di daerah ini. Itu saja. *** Muharyadi, Guru Pembina di SMK Negeri 4 (SMSR) Padang, pelukis, jurnalis dan pengamat masalah seni dan hudaya, kini memperdalam studi di program "Pengkajian Seni"? Pasca Sarjana (S2) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. | ||