Berita / Sekolah / OSIS |
Museum Seni atau Galeri ?
Oleh Muharyadi | ||
| ||
Sejumlah kalangan dalam beberapa waktu terakhir gencar mendiskusikan perihal perlunya museum seni rupa di bangun di Sumatera Barat. Dalam waktu terakhir entah forum apa namanya -- Suwarno Wisetrotomo -- kurator dan dosen ISI Yogyakarta saat menghadiri pameran pelukis Syamsul Bahar (27 Februari sd 4 Maret 2006) di Taman Budaya Sumbar sempat didaulat berdiskusi di gedung Abdullah Kamil Padang. Acara ini konon diprakarsai Edy Utama dan kawan-kawan. Sebelumnya dalam rangkaian HUT harian Singgalang juga dibicarakan soal museum, di komandoi DKSB Sumatera Barat.
Kita menyambut gembira bagaimanapun kegiatan tersebut berindikasi untuk mencari masukan soal masalah museum seni rupa di Sumbar, sejauh tetap menyentuh makna dan fungsi strategis yang diperankan oleh museum itu sendiri dan substansinya terhadap perkembangan seni rupa di daerah ini yang telah lama dikenal sebagai salah satu basis seni rupa di tanah air selain Yogya dan Bali.
Selain itu diharapkan wacana yang berkembang akan ada sinergitasnya mulai dari konsep, pemikiran maupun ide-ide yang berkembang hingga ke tindakan kongkrit membangun museum yang sesungguhnya dalam bentuk program berjangka. Jangka pendek, menengah dan jangka panjang guna dirumuskan, dijabarkan secara digit yang pada gilirannya dapat menjadi program pemerintah daerah secara berjangka. Jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Kita pun tentu berharap juga setiap diskusi yang digelar dalam forum formal seyogyanya melibatkan banyak pihak dan kalangan, baik dari seniman sendiri, ahli sejarah, lembaga pendidikan kesenian, pemerintah daerah, pengamat seni rupa, budayawan dan lainnya agar ia tidak lagi sebatas wacana yang tak berkesudahan.
Bermula dari Festival Minangkabau VI
Pembicaraan perlunya dibangun museum didasari banyaknya karya-karya masterpiece yang lahir dari seniman terkemuka di tanah air asal Sumatera Barat diberbagai daerah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak era kepemimpinan Gubernur Harun Zain, berlanjut ke Zaman Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar hingga kini dibawah kepemimpinan Gawaman Fauzi.
Namun pemikiran, ide maupun konsep yang lahir itu sering putus ditengah jalan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya keberpihakan kalangan legislatif dan eksekutif pada persoalan museum sebagai barometer perkembangan seni rupa sekaligus icon budaya bagi masyarakatnya.
sekarang dibawah kepemimpinan Gubernur Gamawan Fauzi dan Wagub Marlis Rahman, pembicaraan museum seni rupa kian menghangat kembali dibicarakan. Kita merindukan adanya tindakan kongkrit dari semua wacana yang berkembang.
Dalam beberapa waktu terakhir kegiatan perlunya museum seni rupa ini bermula dari diskusi seni rupa yang digelar harian pagi Padang Ekspres September 2005 bertajuk “Membangun Seni Rupa Masa Depan di Sumbar “ diikuti puluhan seniman, budayawan, pengamat seni rupa. dengan pembicara diantaranya Gubernur dan DPRD Sumbar serta sejumlah narasumber diikuti puluhan seniman asal Sumatera Barat, baik di daerah maupun dari Yogyakarta, Bali dan beberapa daerah lain.
Sebelumnya juga didahului sejumlah polemik di harian Padang Ekspres dan Haluan oleh sejumlah penulis, budayawan pada tahun 2005 silam persisnya usai Festival Minangkabau ke VI berakhir.
Dari diskusi tersebut secara aklamasi dihadapan puluhan seniman yang hadir telah disepakati pembentukan TIM 7 guna membantu pihak eksekutif dan legislatif guna merumuskan konsep pemikiran museum dengan berbagai aspek kajian yang mendukung untuk itu.
Diantara anggota Tim 7 terdapat nama Dr. Ir. H. Agusli Taher (Balitbang Sumbar/ketua TIM 7), Drs. Adirozal, M.Si (Dosen STSI/Seniman, kini Wawako Padangpanjang), Drs. Muzni Ramanto (Dosen Seni Rupa UNP), H. Zaili Asril (Wartawan/Budayawan), Drs. Yasnur Asri, M.Pd (Dosen UNP dan pemerhati masalah seni dan budaya), Armansyah Nizar (pelukis dan wartawan) dan kami sendiri selaku sekretaris..
Proposal Tim 7 itu telah disampaikan langsung kepada Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, di sela-sela kegiatan buka bersama dengan kalangan seniman, budayawan dan wartawan 26 September 2005 lalu di gubernuran Sumbar. Intinya gubernur merespon dan mendukung perlunya dibangun museum seni rupa di daerah ini.
Museum atau Galeri ?
Akhirnya kita pun berharap dari konsep, wacana dan pemikiran yang berkembang tentang museum selama ini tidak terjadi salah penafsiran akan makna hakiki apa sesungguhnya museum. Karena kita khawatir jika museum serta merta akhirnya disamakan dengan galerii.
Sama seperti museum lain di dunia maupun di Indonesia, kehadirannya lazim jika dilengkapi galeri di dalamnya, Artinya museum lebih kental pada persoalan nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada sejak kesenian itu berkembang dari dahulu hingga kini. Sementara galeri lebih fokus pada persoalan transaksi jual beli karya seni yang intinya mengutamakan nilai-nilai komersilalisasi semata.
Dibangunnya museum tentulah bermuara pada harapan perlunya proses pengkajian akan pemiskinan nilai-nilai warisan budaya dan spritual masyarakat yang dapat mengakibatkan pendangkalan pengetahuan dan penghayatan serta kelesuan kreativitas dan daya inovatif di bidang seni.
Kehadiran museum hakikatnya menampilkan puncak-puncak prestasi seniman yang dapat memberi kekayaan rohani dan menggugah kesadaran, kebanggaan dan kecintaan yang mendalam terhadap pembangunan seutuhnya. Mengingat juga museum merupakan wadah dokumentasi karya seniman asal Sumatera Barat dimana pun ia berada dan bertempat tinggal yang selama ini kaya dengan kreativitas seni dan budaya.
Museum dapat dijadikan sebagai pusat informasi seni dan budaya Sumatera Barat yang berfungsi sebagai wadah menambah dan memupuk apresiasi masayarakat terhadap kesenian yang berkembang ditengah-tengah masyarakatnya. Dan yang terpenting lagi museum pada gilirannya jufa menjadi pusat pembelajaran, penyelamatan karya seniman sekaligus ajang prestasi seni yang telah dicapai seniman asal Sumatera Barat, baik berskala daerah, nasional maupun internasional.
Sebagai icon budaya, museum juga diharapkan menjadi pintu gerbang pariwisata dan budaya Sumatera Barat yang dikenal kaya dengan sebutan seni dan budayanya di tanah air.
Namun jika di dalam museum nantinya terdapat salah satu ruang dari banyak ruang yang ada berbentuk galeri dengan yang mengutamakan aspek-aspek komersialisasinya sejauh tidak mengaburkan makna dan hakiki nilai-nilai museum itu sendiri, sebenarnya sah-sah saja. Pengertian museum sangatlah leksibel.
Kekhawatiran kita manakala karya-karya bernilai tinggi dan adiluhung yang selama ini dihasilkan seniman dari berbagai rekaman peristiwa dan sejarah yang tidak ternilai harganya itu akan berpindah ke tangan orang lain. Batasan karya yang menjadi saksi sejarah yang sarat nilai-nilai historis tinggi seyogyanya menjadi aset daerah untuk tetap dipajang dan dikoleksi. Sementara karya-karya komersial tanpa mengabaikan nilai estetis dan artistiknya hasil pergulatan seniman adalah karya yang layak diperjualbelikan di galeri. Itu saja. ***
| ||
Berita OSIS Lainnya | ||