Kesederhanaan yang Serius pada Lukisan Dwi Agustyono
Oleh Erianto Anas | ||
| ||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||
Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Dimana ada kreatifitas di situ ide-ide tumbuh subur. Dengan modal kesungguhan dan wawasan yang mendukung, tidak sulit mengangkat hal-hal sederhana menjadi sebuah gagasan besar. Sebuah lukisan misalnya, tidak melulu harus menggambarkan objek-objek yang rumit, megah dan canggih. Apa pun dapat dijadikan sebagai objek atau tema. Setidaknya itulah yang terlihat pada lukisan-lukisan Dwi Agustyono. Lebih dari 50 karyanya sejak awal hingga kini, jarang terlihat ada objek atau vigur yang terlihat dalam realitas sehari-hari. Umumnya karya-karya Dwi Agustyono menggambarkan bentuk-bentuk sederhana seperti bola, pipa dan kotak, tali temali, rantai, kuku, kain dan jejaring. Meskipun pada sebagian kecil lukisannya ditemui gambar vigur seperti kuda, naga, tangan , ataupun kepala manusia, namun vigur-vigur ini bukan dalam citra yang realistik seperti lazimnya lukisan realis, tetapi sudah mengalami transformasi (perubahan) bentuk, yang cendrung agak dekoratif, sehingga bila dilihat sepintas (tanpa kejelian) nyaris identik dengan bentuk-bentuk yang ada di sekitarnya. Meskipun bertolak dari bentuk-bentuk sederhana, tetapi Dwi Agustyono memperlakukannya dengan sangat serius. Sebagai contoh dapat kita lihat lukisannya yang bejudul Instalasi Keserakahan (cat minyak, 150 x 150 cm/2002) Ia menggambarkan beberapa tumpukan kotak terbuka, yang sebagiannya berisi tengkorak manusia. Kotak-kotak ini dihubungkan dengan tirai kain dan berbagai jejaring melalui pipa-pipa yang terlihat seperti jaringan instalasi. Di sekitar objek utama terlihat berjubel tengkorak manusia memadati lantai. Meskipun keramaian objek lukisan ini terkesan rumit, namun tetap memukau dari sisi artistik. Ini ditunjang oleh detail penggarapan, kontras gelap terang, dan permainan komposisi yang kuat. Dari tampilan lukisan ini tergambar sebuah proses dan perhitungan teknis yang cermat.
Tema lukisan ini, juga tidak segamblang objeknya. Intalasi Keserakahan terasa amat serius dan menohok, sebuah keprihatinan yang amat sangat terhadap kerakusan kekuasaan. Gejala ini tidak lagi bersifat lokal-individual, tetapi sudah merupakan sebuah jaringan global yang terstruktur, canggih dan kuat. Karena itu tidak mengherankan bila jumlah korbannya tidak lagi dalam hitungan satuan tetapi sudah bersifat massal. Ini menyiratkan bahwa Dwi Agustyono bukan hanya bermain-main dengan objeknya, tetapi juga sedang berpikir keras, sedang melahirkan sebuah kritik dan gugatan pedas terhadap fenomena sosial dan politik. Tema senada juga terlihat pada lukisannya yang berjudul Jihad atau Teror (cat minyak, 95 x 150 cm/2003), sebuah tema yang sangat polemis dan kontroversial. Sebagian pandangan menilai fenomena jihad merupakan suatu gejala kekerasan, tetapi sebagian yang lain tetap meyakini bahwa itu adalah sebuah ibadah suci atas nama Tuhan. Lukisan ini menggambarkan respon Dwi Agustyono terhadap kompleksitas masalah tersebut dari sudut pandang seorang pelukis lewat bahasa rupa. Lukisan ini di dominasi oleh repetisi (pengulangan) bentuk-bentuk geometris lingkaran dan liukan. Objek utama lukisan ini adalah bayangan sesosok vigur wanita Islami (berjilbab) yang sudah mengalami deformasi (pengkaburan) bentuk. Pada siluet wajahnya tampak 3 lobang gelap menganga. Sekujur sosok ini seakan terjebak dalam jejaring yang berlapis-lapis dan tak jelas ujung pangkalnya. Dengan menggunakan nuansa warna yang monochrome (ungu tua), boleh dikata lukisan ini berhasil membangun aroma teror yang lazimnya terkesan mencekam dan tragedi.
Pada judul Mencari Tempat Tumbuh, tampak Dwi Agustyono sengaja meng-ekspos bulatan-bulatan yang terlihat seperti bola, entah itu buah-buahan atau semcam biji-bijian. Bulatan-bulatan ini seakan baru keluar dari lobang asalnya masing-masing. Sebagian bulatan berwarna hijau dan sebagian berwarna putih. Beberapa bulatan jebol ditembus kuncup daun dan bentuk-bentuk yang kelihatan seperti taring, yang berasal dari dalam bulatan itu sendiri. Lukisan ini tampak sangat minimal dari kerumitan dan atraksi visual. Permainan kontras tiga warna utama (Putih, kuning dan orange) terasa menimbulkan efek dinamik dan vitalitas. Kesan total lukisan ini ibarat sebuah sajian yang amat membangkitkan selera estetis (keindahan): . Dapat dikatakan lukisan-lukisan Dwi Agustyono amat berseberangan dengan lukisan–lukisan yang sengaja mengumbar emosi, seperti yang terlihat pada lukisan ekspresionisme dan jiblert art (lelehan cat) misalnya, yang amat kentara pada umumnya karya-karya pelukis Jogja. Lukisan Dwi Agustyono mencerminkan sebuah kerja yang sistematis dan terstruktur. Nyaris tidak ditemukan sebuah coretan atau sapuan ekspresif pada karya-karyanya. Semua bagian seakan digarap dengan penuh perhitungan. Meskipun terlalu pagi, sebagai pemetaan sementara, boleh dikatakan karya-karya Dwi Agustyono lebih dekat dengan karya-karya pelukis Bandung pada umumnya, yang amat kental dengan nuansa teknik (matematis) dan bangunan konseptualnya. Bisa jadi semua ini dipengaruhi oleh latar belakang akademisnya yang berasal dari bidang teknik (FPTK IKIP Padang), yang tentu banyak berhubungan dengan hal-hal yang terukur dan matematis. Selain itu ia juga seorang guru teknik (SMK N 8 Padang). Ia mengakui, pada mulanya melukis baginya hanya sekedar hobi di sela-sela berbagai aktivitas keteknikannya. Baru sejak tahun 2000 ia mulai aktif menekuni dunia seni lukis sebagai aktivitas berkesenian dalan arti yang sesungguhnya. Dan sejak itu pula, di sekolah tersebut ia diserahi tugas mengajar menggambar hingga saat ini. Meskipun perlu kajian lebih jauh, paling tidak, latar historis dan profesi seorang seniman lazimnya relatif mempengaruhi kecendrungannya dalam berkarya. Sebagai pendatang baru, boleh dikatakan karir seni lukis Dwi Agustyono cukup cepat. Hanya dalam hitungan 2-3 tahun sejak awal keaktifannya ia sudah berada pada posisi yang sama dengan beberapa pelukis Sumbar lainnya (dengan kecendrungan modern art tentunya) seperti Amrianis, Tojes, Muzni Ramanto, Heldi, Syafwan Ahmad, Zirwen Hazry, Nasrul, Harnimal, Ardim, Sami Batubara, Irwandi, Iswandi, Afrizal dan beberapa pelukis segenerasi lainnya. Ia sering pameran bersama nama-nama ini di berbagai kota di tanah air. Karyanya cukup sering terjual dalam beberapa event pameran yang pernah diikutinya. Rata-rata peminat lukisannya adalah kolektor dan apresian dari luar negeri, sebagian kecil juga dari kalangan pejabat. Sebagai pendatang baru, harga lukisan-lukisan Dwi Agustyono yang terjual sudah cukup tinggi, yaitu14 juta. Bersama 19 pelukis Sumbar lainnya, 19 Maret- 8 April 2007 lalu Dwi Agustyono mengikuti Pameran khusus perupa asal Sumbar di Semar Art Gallery Malang. 3 lukisan Dwi Agustyono yang digelar pada proses pengakurasian di gallery FBBS UNP pada 10-12 Februari 2007, oleh Mamannoor (kritikus dan kurator Nasional dari Bandung), lolos seleksi sebagai karya yang akan dipamerkan pada event tersebut. Agaknya, semua ini dipicu oleh aktivitas dan kegigihan Dwi Agustyono dalam berkarya. Ia tergolong pelukis yang produktif. Berdasarkan pengakuannya, total karyanya (termasuk karya-karya studi) sudah mencapai 100 buah, tetapi yang ia anggap layak dipersembahkan kepada publik lebih kurang 50 buah.
Keberadaan beberapa rekan-rekannya yang di samping sebagai pelukis juga bertugas sebagai guru di SMK N. 4 (SMSR) dan Sekolah tempatnya mengajar sangat mempengaruhi proses awal kreativitasnya, seperti: Tojes, Nasrul dan Zirwen Hazry. Ia mengaku pada mulanya banyak belajar melukis dari Tojes. Bahkan di masa-masa studinya ini, ia benar-benar melukis sebagaimana teknik dan gaya lukisan Tojes. Pengakuannya ini sempat tergambar ketika ia bersama kelompok seni Pentagona (Dwi Agustyono, Tojes, Amrianis, Zirwen Hazry dan Irwandi) mengadakan pameran di Hotel Bumi Minang Padang pada tahun 2003. Saat itu banyak pengunjung berkomentar bahwa lukisan-lukisan Dwi Agustyono sulit dibedakan dari lukisan Tojes. Tetapi sambil berjalan, ia bertekad bahwa beberapa waktu kemudian ia harus menemukan gayanya sendiri. Secara perlahan kemudian ia berusaha meninggalkan pengaruh Tojes dan akhirnya menemukan bentuknya sendiri. Dibanding beberapa lukisan rekan-rekanya seperti Nasrul, Irwandi, Syafrizal dan Sami Batubara yang amat kaya eksperimentasi teknik, lukisan-lukisan Dwi Agustyono tampak amat bersahaja dengan teknik penggarapan, sebagaimana lazimnya dalam teknik menggambar bentuk biasa. Apakah ini sebuah keterbatasan atau memang sebuah pilihan, tentu membutuhkan kajian lebih jauh dan harus menunggu proses perjalanan seni lukisnya di masa mendatang.
Meskipun sederhana dalam bentuk (bentuk dasar) dan teknik penggarapan, lukisan-lukisan Dwi Agustyono amat sarat dengan simbol dan makna. Sebagian karyanya cukup sulit dipahami. Karena itu pendekatan semiotik (ilmu tentang tanda atau simbol) di sini menjadi sangat penting. Permainan bentuk-bentuk sederhananya tak bisa dipahami sebagai pelepas dahaga visual semata. Tetapi ada pesan dan konsep yang tidak sederhana bercokol di balik semua itu. Dwi Agustyono tampak memang keasyikan mengeksplorasi (menjelajahi) bentuk-bentuk sederhana ini dari berabagai topik dan tema, seakan ia tak tak pernah gerah dan kehabisan inspirasi. Biaro, 11 Maret 2007 Erianto Anas (Guru Seni Rupa SMK N 1 Ampek Angkek) *) Sumber: Haluan, 15 April 2007 | ||