Berita / Wawasan Seni |
Membaca Seni Rupa Sumbar Dulu, Kini dan Masa Depan
Oleh Muharyadi | ||
| ||
Mendiskripsikan seratusan lebih karya perupa Sumatera Barat yang berpameran dalam perhelatan besar Pekan Budaya Sumatera Barat/Festival Minangkabau 2004 yang berlangsung di Taman Budaya Sumbar dari tanggal 18 sampai 24 Desember 2004 ini, bukanlah merupakan pekerjaan sederhana.
Selain rentang waktu yang pendek diberikan panitia yang semuanya terkesan serba mendadak, saya juga kesulitan mengamati karya-karya seni rupa yang akan dikurasi secara langsung. Karena sampai batas akhir penyerahan karya 14 Desember lalu, menurut panitia dari peserta yang diundang lebih dari 100-an baru sekitar 60 persen menyerahkan karya lengkap dengan administrasinya (data perupa, pengalaman pameran dll). Dari semua data administrasi dan karya-karya yang terhimpun dan dikumpulkan panitia, ternyata akhir sampai H-2 peserta melelebihi dugaan semula. Konon, selain terdapat sejumlah nama yang terabaikan yang tidak terdata untuk berpameran, berbagai komunitas pelukis muda yang jumlahnya di daerah kita cukup banyak pingin ambil bagian dan minta diikutsertakan. Inil adalah angin segar dan kabar gembira dikalangan dunia seni rupa kita, bahwa berseni rupa ternyata tak pilih waktu dan ruang. Ada idiom-idiom baru yang lahir dan bermunculan disana-sini dengan kelebihan dan kekurangannya. Dari sudut manajemen pameran, semuanya dapat menjadi pelajaran berharga bagi panitia yang sudah bekerja keras mendata, menginventarisasi nama-nama serta menghubungi para perupa berikut dengan karyanya, baik di Sumatera Barat maupun di luar daerah seperti di Riau, Jambi, Lampung dan pulau Jawa sebagai kantong utamanya seni rupa. Terlepas isi, konsep maupun wacana yang diangkat perupa di masing-masing karyanya, menurut hemat saya perupa Sumatera Barat kini memang benar-benar demam berkarya yang harus kita repon bersama, mulai dari yang tua, yang muda sampai ke usia remaja di daerah maupun di luar daerah. Sederhananya, bahwa aktivitas berkesenian "? terutama seni rupa "? layak dicatat dan diagendakan agar benar-benar menjadi bagian integral pembangunan dalam ranah seni dan budaya di daerah ini. *** Seni lukis karya yang paling mayoritas untuk diikutsertakan pada pameran ini yang jumlahnya ratusan disamping beberapa karya patung, sketsa, grafis serta keramik. Sesuai yang menjadi niatan, berikut visi dan misi panitia, pameran sekarang diupayakan agak lebih baik dari pameran-pameran terdahulu sebagai landasan pijak pameran. Namun dalam menentukan format yang jelas dalam pameran besar seperti ini saya dan Ady Rosa selaku kurator mengalami kesulitan, karena sampai hari-hari terakhir kami berdua belum memperoleh rambu-ramu yang jelas soal apa tema dalam pameran ini. Namun setidaknya saya memperoleh gambaran, bahwa paling tidak yang menjadi acuan dalam kurasi ini adalah "membaca karya seni rupa Sumbar dulu, kini dan masa depa"?, mengingat para peserta, mulai dari angkatan 1900-an seperti Wakidi, 1950 hingga 1960-an seperti Ipe Mak"ruf, Hasan Basri Dt. Tumbijo, Itji Tarmizi, Amir Syarif, Arby Samah. Sementara angkatan 1970-1980-an muncul sejumlah nama diantaranya Armansyah Nizar, Nazar Ismail, Yose Rizal, Idran Wakidi, Am. Y. Dt. Garang, Fauzi, Syaiful Adnan dan banyak lagi. Lantas muncul periode yang tidak terbendung jumlahnya dalam kurun waktu 1980-an keatas sampai sekarang seperti Friman Ismail, Zulhelman, Zulkifli Mukhtar, Herisman Tojes, Ardim, Harnimal, Mirza Adrianus, Metrizal, Dwi Augustioyono, Amrianis, Zirwen Hazry, Yasrul Sami, Yulianto, Budiman, Febri Antoni, Marwan serta puluhan anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai komunitas dan kelompok seni yang sangat produktif berkarya.
Tapi dalam menyidik wilayah pergulatan intensitas berkarya dan kreativitas seniman melalui karya-karya yang kini dipajang dalam gagasan-gagasan baru di wilayah ranah estetis setidaknya sedikit dapat membantu saya memperoleh informasi dalam rentang waktu perjalanan yang linier yang dapat dilacak dan ditelusuri dan sedikit dibantu sejumlah literatur dan referensi perjalanan seniman yang kita bicarakan selama ini melalui kataloguis pameran, kliping surat kabar dan majalah dan sumber-sumber lainnya. Yang mungkin dihindari dalam pola seleksi tentulah apabila karya yang diikutsertakan lebih berisi muatan "dalam rangka"? mengikuti pameran, bukan karena pergulatan kreatifitas seseorang yang selama ini sudah teruji dihadapan publik. Karya-karya seperti ini tanpa basa-basi kita beri peringatan yang disampaikan dalam bahasa santun. Biasanya perupa berpameran "dalam rangka"?, tak banyak dikenal publik penikmat seni, apalagi untuk bahan kajian maupun diskusi para pengamat dan kurator. *** Mengamti lukisan karya era Wakidi, tahun 1960 hingga tahun 1970-an mayoritas karya yang tampil mengambil tema panorama pemandangan alam. Pada karya Wakidi sendiri yang juga salah seorang tokoh Mooi Indie karya-karyanya bahan cat air, cat minyak dan bahan lainnya yang disuguhkan kepada audien merupakan bentuk lain dari cara memandang tamasya alam melalui lukisan, dimana kelompok pohonan, hamparan sawah yang terbentang luas, perbukitan yang menghijau dengan penampilan watak dalam bentuk maupun pewarnan, terasa lebih mengungkapkan kesuburan dengan sifat ketenangan dan keasriannya, lihat juga lukisan Hasan Basri DT. Tumbijo, Syamsul Bahar dan beberapa nama lain. Tema yang berubah kebanyakan direspon setelah era tahun 1950-an persisnya setelah pendudukan Jepang, dimana obyek pemandangan alam telah berisi muatan obyek lingkungan sosial. Kita menyaksikan telah ada sosok atau figur manusia yantg mencitrakan fenomena alam dan isinya. Orang cendrung beranggapan Wakidi sangat kental pengaruhnya pada karya-karya pelukis lain yang ada di Sumatera Barat saat itu, padahal sebenarnya yang banyak tersebut adalah pengikut dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pengaruh lebih ditentukan, kepiawaian kerja melukis, membuat perspektif warna, teknis melukis, bukan isian atau konsep sebagaimana yang dicemaskan banyak orang, karena bagaimana pun kebanyakan pengikut-pengikut Wakidi era tahun 1950 hingga tahun 1960-an keatas memperoleh pendidikan di pulau Jawa. Mengapa pemandangan alam ? Dari sisi tema pemandangan alam hingga sebenarnya merupakan sumber insprirasi banyak pelukis yang tak pernah kering untuk digali dan disiasati kepermukaan kanvas. Wajar jika dalam periodesisasi Wakidi dan sesudah angkatannya sampai era tahun 1970-an kebanyakan menjadikan tema pemandangan alam sebagai bahasa utama kerja lukis melukis. Karena alam dan manusia serba terhubung. Manusia sebagai makhluk sosial pembentuk masyarakat saling memiliki keterkaitan dengan alam sekitar. Karya-karya Wakidi dan sesudah angkatannya, apakah ia estetik atau non artistik yang merupakan bagian sejarah seni lukis di Sumbar bahkan di Indonesia pada zamannya, sebenarnya layak disimak karena ia adalah bagian dari sejarah yang kadang dilupakan. Selain itu banyak orang beranggapan obyek pemandangan alam kurang memiliki nilai greget dalam bahasa ungkap seni lukis. Lihat juga sejumlah karya-karya pelukis dunia seperti Vincent Van Gogh, Rembrandt dan beberapa nama lain yang merespon alam sebagai tema utama dikarya-karyanya. *** Karya lukis era tahun 1970 hingga tahun 1980-an secara tematik telah banyak berubah. Perubahan ini, ditentukan cara pandang pelukis terhadap obyek dan juga pengaruh pendidikan seni yang dibawa beberapa perguruan tinggi seni Indonesia, terutama Akadademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia. Karya-karya angkatan Nazar Ismail, Fauzi, Yose Rizal, Armansyah Nizar dan beberapa nama lain secara perlahan mulai membawa perubahan, bukan dari sisi obyek tapi dari teknik kerja lukis-melukis. Lihat karya Nazar dengan isian responsibilitas kondisi sosial masyarakat, Fauzi, Armansyah Nizar dan beberapa nama lain yang kita lihat mencoba merekam kondisi sosial masyarakat dengan isian memberanikan diri lebih terfokus pada sosok atau figur sebagai kerja lukis-melukis. Perubahan signifikan kita lihat beberapa karya di era tahun 1990-an keatas. Karya-karya mutakhir seperti ditunjukkan beberapa pelukis seperti Herisman Tojes, Ardim, Amrianis, Adi Rozal, Dwi Augustyono, Irwandi, Syahrial, Yasrul Sami Batubara, Febri Antoni dan beberapa nama lain menunjukkan bahwa karya-karya seni lukis sulit dibedakan dalam ranah bahasa ranah rupa atau dimana seseorang berada. Artinya para pelukis asal Sumatera Barat, apakah ia di Sumatera Barat atau di pulau Jawa atau dimana saja tak memiliki jauh perbedaan. Yang membedakan berkisar pada intensitas dan kreativitas seseorang dengan konsep-konsep karyanya yang yang menjadi ukuran sebagai tolok ukur nilai estetis dan artistik karya. Perbedaan pelukis yang berada di pulau Jawa dan di daerah lebih terletak pada persoalan waktu dan ruang. Fenomena menarik perkembangan seni lukis beberapa tahun terakhir di Sumbar dibuktikan dengan tingginya frekwensi pameran serta pergulatan seniman dalam wilayah kreativitas yang merupakan simbol eksistensi berseni lukis, ditambah lagi transfer ilmu seni lukis perguruan tinggi seni terkemuka di Indonesia terutama di pulau Jawa yang mereka gali dan turut mempengaruhinya, membuat seni lukis Sumbar makin menggejala disana-sini. Termasuk para seniman Sumbar yang kerap berdampingan berpameran. Lihat perjalanan dari literatur pelukis Syaiful Adnan, Yasrul Sami Batubara, Febri Antoni, Marwan, semuanya jebolan ISI Yogyakarta. Sementara dari Sumbar yang menempuh pendidikan tinggi seni daerah ini seperti Herisman Tojes, Amrianis, , Irwandi, Iswandi dan Zirwen Hazry pelukis Sumbar yang telah berpameran hingga ke Jerman dan lainnya adalah simbol dunia seni lukis Sumbar yang tidak kalah menariknya, bahkan masuk perhitungan peta seni lukis moderen di tanah air. Terlebih bila kita menyingkap komunitas anak muda yang tergabung dalam "Belanak"?, "Suluah"? di Padang yang lahir karena pengaruh kental seni lukis moderen yang mengingatkan kita akan jarak antara Jawa dan Sumatera Barat bukan lagi persoalan yang harus diperdebatkan dalam karya-karya mereka, terlebih bila menyidik teknis melukis mereka yang sudah cukup tinggi dan gampang beradaptasi dengan perupa jebolan luar Sumatera Barat. Kekhawatiran saya kalau tidak berlebihan, mungkin soal pusaran konsep dan isi yang kadang bukan dijadikan fokus centre of interest karya, karena mereka lebih menomorsatukan pada soal teknis yang kaya disana-sini. Persoalan seni lukis sebenarnya bukan semata ditentukan soal teknik melukis yang tinggi, tapi lebih kepada isian, konsep dan pesan moral yang disampaikan. Bukankah alam Sumatera Barat kaya dengan persoalan masyarakat disana-sini, dimana seniman perupa berada, dalam struktur masyarakat atau jauh di luarnya ? Lihat sejumlah karya, diantaranya karya Syahrial, berjudul Melihat ke Belakang , multi media, 70 X 90 cm (2004), Mardesten LIKILI-KU, akrilik 105 X 137 cm (2004), Hendra Sardi BABALIAK, cat minyak (2004) dan beberapa nama seperti M. Ridwan, Meistoria Ve, M. Zikri yang sangat kental dengan karya-karya mutakhir. Membaca judul, konsep mereka saya akhirnya mengembalikan kepada perupanya, apa sebenarnya yang ingin dicari, dari sudut isian maupun konsep, disebabkan konsep berkarya dan konsep karya masih dianggap sama. Tapi bagaimana pun mereka kelak dapat membaca seni lukis yang sesungguhnya, karena melukis bukan berpusar ranah estetis, tapi juga persoalan isian dan konsep dan pesan moral yang tinggi membuat karya lebih komunikatif di mata publik dan audientnya. Kecurigaan yang berlebihan terhadap orang-orang muda yang sangat produktif berkarya tentulah tidak kita harapkan. Bagaimana pun mereka adalah bagian sejarah yang akan kita rekam untuk diredresentasikan kelak kehadapan publik seni yang kian mengglobal. Seperti yang pernah dikemukakan Mamannoer dalam kesempatan pameran perupa Minangkabau baru-baru ini kepada saya, bahwa orang Minangkabau (sumbar-pen) lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang-orang terdekat dimana ia tinggal dan berada. Seperti pepatah Minangkabau dikutip Mamannoer, menyebutkan "Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, disinan aie disauak, dimana nagari disinan adat dipakai"?. Apa ia sesungguhnya pembanaran ini dapat diterima dalam kerja lukis-melukis. Mungkin saja. Tapi yang jelas perbedaan seni lukis Sumbar sejak era Wakidi hingga kini, dapat disidik dalam beberapa hal secara sederhana dapat dibedakan atas, (1) Rekaman peristiwa yang diangkat pelukis kepermukaan kanvas, (2) Struktur masyarakat dan lingkungan sosial tempo dulu dan kini, (3) Pengaruh seni lukis barat atau moderen, (4) Akar kontinuitas seni lukis dulu dan kini, (5) Pergeseran nilai-nilai dan pengaruh globalisasi, (6) Kepekaan estetis dan artistik pelukis, masyarakat penyangga, galeri, museum, peranan media massa bahkan sampai ke kolektor. Semuanya terbungkus dalam konsep yang matang. Barangkali kita tak usah lagi menghitung banyak pelukis di daerah ini. Segi kualitas karya sudah mulai teruji. Ada pelukis beserta karyanya, pameran yang mulai tumbuh dan berkembang, ditopang masyarakat penyangganya, institusi pendidikan kesenian formal yang hidup subur merupakan suatu bukti otentik bahwa seni lukis di Sumbar mulai sungguh-sungguh menjadi bagian integral dalam pembangunan. Tinggal sekarang akan dikemanakan seni lukis itu sendiri, etalase politik atau bagian kebudayaan yang sesungguhnya ? *** Muharyadi, kurator, guru pembina di SMSR Negeri Padang, Jurnalis, kini sedang memperdalam ilmu di program Pengkajian Seni Pascasarjana ISI Yogyakarta. | ||
Berita Wawasan Seni Lainnya | ||
|