Berita / Budaya |
Galeri dan Simbol Peradaban Budaya
Oleh muharyadi_ra | ||
| ||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||
Wacana pentingnya museum seni rupa didirikan di Sumaterta Barat telah lama bergulir dimulai era kepemimpinan Gubernur Harun Zain berlanjut ke zaman Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar bahkan terakhir era Gamawan Fauzi yang konsep keberadaannya didasari pertimbangan banyaknya karya-karya masterpiece yang lahir dari seniman terkemuka di tanah air asal Sumatera Barat perlu untuk diselamatkan sekaligus sebagai simbol peradaban budaya.
Namun yang muncul kemudian ditengah-tengah Sumbar bertaburan bintang seni rupa di tanah air dimulai era Wakili (1889-1979) hingga sekarang lahirnya istilah “tak ada rotan akarpun jadi” artinya dambaan memiliki museum rupa refresentatif mengingat sejarah panjang seni rupa di daerah ini lebih seabad silam justru berganti menjadi galeri seni rupa yang kini bermunculan, mulai dari Galeri “Soemaryadi” di UNP Padang, Galeri Taman Budaya dan terakhir galeri seni rupa “ Cangkeh” di SMKN 4 (SSRI/SMSR) Padang yang sebentar lagi diresmikan pemakaiannya. Tapi setidaknya banyak kalangan menilai kehadiran galeri seni rupa sejak beberapa tahun terakhir diberbagai tempat dan lokasi paling tidak selain memperkaya khasanah seni rupa baik ditingkat lokal, regional mapun nasional mampu mengobati kerinduan ingin memiliki museum seni rupa yang dapat dijadikan simbol peradaban kebudayaan serta sejarah seni rupa di Sumbar sebagai salah satu etalase dalam peta seni rupa nasional mulai ada tanda-tanda perkembangan menggembirakan. Yang kita tunggu selanjutnya adalah komitmen dan political will dari pengambil kebijakan daerah ini untuk memikirkan perihal pentingnya museum, jika Sumbar tidak ingin dicap sebagai daerah yang melupakan sejarah panjang seni rupa di tanah air. Menyoal seni rupa, Dr. Adirozal, M.Si, dosen STSI (ISI) Padang Panjang dan mantan Wakil Wali Kota (2003-2008) di daerah kota dengan sebutan serambi Mekkah itu mengatakan, seni rupa Sumatera Barat sudah selayaknya dijadikan etalase pariwisata seni dan budaya seperti halnya Yogyakarta dan Bali, mengingat secara historiografi Sumbar sejak era pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, era tahun 1970, 1980 dan 1990 bahkan hingga kini dikenal sebagai salah satu gudangnya para kreator seni rupa di tanah air. Namun dari kondisi realitas yang ada ternyata dunia seni rupa Sumbar belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri disebabkan diluar seniman dan pekerja seni yang ada, ternyata apresiasi masyarakat bahkan pemerintah daerahnya masih rendah terhadap seni rupa. Padahal sektor seni rupa dari selain sudut idealismenya juga dapat dijadikan “industri kreatif” yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan daerah bidang pariwisata, seni dan budaya disamping sektor-sektor lain, jelas Adirozal menambahkan. Sementara Mantan Kepala Taman Budaya Sumatera yang juga pekerja seni, Drs. Asnam Rasyid melihat hadirnya sejumlah galeri di Sumbar paling tidak diharapkan mampu menciptakan peran seni rupa ditengah-tengah masyarakat secara utuh dan sempurna, baik secara regional, nasional bahkan internasional. Diluar Jawa dan Bali, Sumbar terutama untuk wilayah Sumatera memiliki kekuatan tersendiri terutama terhadap karya-karya yang dihasilkan para kreator seni rupa karena ditunjang oleh sarana dan prasarana yang cukup memadai, peran media massa yang punya andil untuk percepatan pertumbuhan seni rupa, ditunjang kehadiran lembaga pendidikan seni rupa dan lainnya. Selama ini dalam berbagai even dan pameran seni rupa se Sumatera, Sumbar menjadi perhitungan propinsi lain di Sumatera. “Tinggal sekarang bagaimana Sumbar mampu menciptakan iklim kondusif agar kehadiran galeri dengan karya-karya terbaik seni rupa hasil penjelajahan kreativitas para seniman dapat dinikmati masyarakat maupun orang luar Sumbar”, jelas Asnam Rasyid. Menurut Asnam, Sumbar dapat saja menjadi wajah Sumatera dari sepuluh propinsi yang ada seperti halnya daerah Yogyakarta di pulau Jawa dengan banyak propinsi didalamnya, apalagi hubungan Sumbar selama ini dalam berbagai bidang dengan Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand cukup dekat dibanding Yogyakarta yang selama ini menjadi kekuatan seni rupa di pulau Jawa bahkan di Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang bagaimana kondisi realitas dan implementasi dari berbagai pihak di lapangan agar seni rupa benar-benar dirasakan sebagai kekuatan pembangunan dengan mensinergikan semua potensi seni rupa yang ada. Ini pulalah salah satu peran yang diambil galeri seni rupa yang ada dengan manajemen yang dikelola secara profesional. Kemudian pentingnya galeri seni rupa tentulah harus dilihat dari perhitungan yang cukup matang dan mendalam terhadap konstribusi perkembangan Sumbar baik dilihat dari pembangunan fisik, non fisik maupun dari sudut finansial dan kultural, jelas Asnam Rasyid. Dilain pihak, pelukis nasional Syaiful Adnan (54 th) kelahiran Sumani, kabupaten Solok, Sumatera Barat yang sejak puluh tahun lalu bermukim dan berkarya di daerah istimewa Yogyakarta, menilai kehadiran galeri seni rupa di beberapa tampat di Sumatera Barat, termasuk yang terakhir di SMK N 4 (SSRI/SMSR) Padang adalah suatu langkah awal yang cukup baik dalam membenahi manajemen seni rupa di mata publik. Karena Sumatera Barat sejak lama dikenal sebagai kantong seni rupa di tanah air. Hanya saja selama ini belum dikelola dan ditangani secara profesional ditambah lagi kepedulian pemerintah dan berbagai pihak yang dinilai masih kurang terhadap seni rupa disana-sini. Kita iri, jelas Syaiful Adnan, maraknya pertumbuhan dan perkembangan dunia seni rupa di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak puluhan tahun terakhir sangat banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh para perupa yang sebagian besar ternyata urang awak yang bermukim disana dalam peta seni rupa nasional. Banyak bernuculan komunitas seni rupa di daerah Istimewa Yogyakarta yang dijadikan barometer seni rupa di tanah air dalam dekade terakhir, sebutlah misalnya seperti “Sakato”, “Jendela” dan lainnya, Lihat pula karya-karya hasil penjelajahan kreatifitas kreator urang awak yang menghiasi museum maupun galeri terkemuka di Yogyakarta bahkan sampai ke Bali, Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya bahkan hingga ke sejumlah Negara Asia dan Eropa sebagian besar diisi oleh perupa asal Sumatera Barat yang bermukim dan berkarya di daerah ini. Kekhawatiran kita nanti bila pemerintah Sumatera Barat tidak memikirkan seni rupa secara sungguh-sungguh sebagai bagian kebudayaan yang ada baik kelembagaaan, personal maupun komunitas yang ada maka akan berakibat seperti menanam kelapa condong, “pohonnya di tanah kita tapi buahnya orang lain yang memetik”, ujar Syaiful Adnan yang telah puluhan kali berpameran di dalam dan luar negeri tersebut memberi ilustrasi. (muharyadi).*** | ||
Berita Budaya Lainnya | ||
|