Kritikus Seni Rupa Cenderung Tak Obyektif

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Kompas Cyber Media
Selasa, 16 Agustus 2005 17:52:06 Klik: 4194
Agak sulit menemukan kritikus seni rupa yang benar-benar independen, karena sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai kurator di galeri privat. Padahal sesungguhnya kritikus dibutuhkan untuk mentransformasikan ide-ide seniman kepada khalayak secara obyektif.


Demikian terungkap pada hari terakhir Simposium Kritik Seni 2005 di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki, Jumat (24/6). Simposium dua hari itu diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Kurator yang juga bisa berperan sebagai kritikus, bagaimana bisa sebagai penilai dan pengamat seni yang obyektif kalau dirinya juga sering dipakai oleh galeri privat, kata perupa dan penulis seni rupa FX Harsono, yang jadi pembicara bersama dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) Aminudin TH Siregar.


Meski tidak ada kritik yang benar-benar obyektif, kata Harsono, namun setidak-tidaknya mampu melahirkan analisis yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang dominan. Demikian juga, sulit rasanya untuk benar-benar terbebaskan dari dominasi. Kekuasaan yang mendominasi memang sulit dikenali sosoknya secara jelas. Sehingga untuk menjelaskan apakah seseorang terkooptasi atau tidak, juga tidak bisa tampak dengan jelas, tuturnya.

Kritikus dibutuhkan.


Mengacu kepada pandangan kritikus seni rupa dasawarsa 1940-an S Sudjojono, Siregar menggarisbawahi pentingnya posisi kritikus yang berdiri di antara seniman dan khalayak. Seniman butuh kritikus yang sanggup mentransformasikan ide-idenya kepada khalayak.

Akan tetapi, pada kenyataannya para kritikus cenderung bersikap pasif, yang justru berpotensi memperlebar jarak antara seniman dan khalayak.


Sikap pasif para kritikus, kata Siregar, terlihat dari inkonsistensinya dalam penggunaan istilah-istilah untuk menggantikan istilah kritikus.


Pada ujung tulisan kritik seni rupa, lebih banyak dijumpai identitas baru penulisnya seperti pengamat seni rupa, pemerhati seni, aktivis seni, kurator independen, penulis seni, pemantau seni, pengulas seni, dan sebagainya.


Istilah-istilah pengganti itu cenderung menempatkan kritikus tidak ingin menempuh risiko dan secara psikologis menyembunyikan status serta posisi dirinya di hadapan khalayak. Mereka seolah berada jauh di belakang dan tidak lagi aktif men-drive seniman, papar Siregar, yang jadi kurator di Galeri Soemardja.

Siregar berpendapat, dengan memproduksi istilah-istilah pengganti, situasi demikian menjadikan kritikus seolah bebas nilai dan seolah netral. Padahal kerja dan profesi kritikus semestinya berpihak pada perkembangan seni rupa dan mengungkap kebenaran.


Kritikus yang seolah tampak netral dengan mengubah-ubah predikat dirinya, cenderung memilih diam demi kehati-hatian dalam suatu kasus di arena seni rupa. Di sisi lain, dalam situasi netral itu, seorang kritikus bisa loyal terhadap galeri atau seniman tertentu. Ini tidak sehat, ungkap Siregar. (LAM)


 
Berita Pameran Lainnya

Video Pilihan


Model Pembelajaran Problem Based Learning

Desain Interior dan Teknik Furnitur SMK N 4 Padang

SMK N 4 PADANG MENUJU KEMATANGAN FINANSIAL

Profil Kompetensi Keahlian Animasi 2021

Pelaksanaan UKK KKBT Tahun 2022

PAMERAN INTERIOR DUA SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN RESMI ...

Surga Untuk Mama

YUK DAFTAR SEKARANG JUGA, SMKN 4 PADANG SEKOLAH PUSAT ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test