Berita / Sekolah / OSIS |
Membaca Konservatisme Kanvas Minang
Oleh Kuss Indarto (Cemeti | ||
| ||
Sumatra Barat (baca: Padang) menjadi salah satu peta penting di antara sedikit kawasan di luar Jawa yang masih bisa diharapkan dinamika jagad seni rupanya. Lintasan sejarah singkat bisa dibariskan dengan menyebut beberapa nama yang sempat memberi warna bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Mulai dari sosok Wakidi, orang Semarang (Jawa Tengah) yang menemukan "situs kreatifnya" justru ketika dia hijrah ke ranah Minang. Kesenimanan Wakidi yang kurang lebih dimulai dasawarsa 1930-an hingga penghujung 1970-an sempat menorehkan geliat seni rupa di kawasan itu, meski reputasinya nyaris tak cukup kuat bergaung di level nasional. Mungkin karena positioning Wakidi sebagai pelukis mooi-indie menjadikannya tak cukup mendapat tempat apresiasi yang layak. Generasi berikutnya muncul sesekali meski sekadar membawa identitas Sumatra Barat (Sum-Bar) atau Minangkabau sebagai instrumen personalitas, bukan dalam kerangka kecenderungan sebagai sebuah gerakan (pembaru yang fenomenal). Artinya, mereka mengemuka garis kesenimanannya justru berkebalikan dengan sosok Wakidi, yakni setelah berkeputusan menetap ke Jawa sebagai kanvas dalam berkeseniannya. Tercatat ada nama Itji Tarmizi yang kelak dikenal sebagai pelukis istana pada era kepemimpinan Soekarno. Juga ada Nashar yang setia dengan konsep "Non Konsep" yang "mengantarnya" mati dalam kemelaratan, Oesman Effendi alias OE, Mara Karma dan beberapa nama lain. Hingga sampai pada masa berhamburannya anak muda Sum-Bar berkesenian dengan lewat pendidikan formal seni rupa di ISI Yogyakarta, dan beberapa tempat lain di Jawa. Pada kelompok inilah ranah Minang, pada satu sisi, diduga dapat diidentifikasi sebagai kawasan penyuplai perupa berbakat. Sementara pada keping asumsi yang lain, muncul sebuah tanda tanya: Adakah geliat dinamika seni rupa di Sum-Bar? Tentu bukan sebuah jawaban yang tuntas ketika penulis berupaya menghimpun dan membuat kurasi kecil-kecilan terhadap 28 perupa yang masih aktif berkarya di bumi Minang untuk pameran bersama di Galeri Sarasah Padang, 21 Maret hingga 21 April 2002 lalu. Namun, penulis berani "bergegabah" bahwa perhelatan itu -- bertajuk Membaca Geliat Seni Rupa Sumbar Kini -- bisa menjadi salah satu penampang kecil untuk membuat "rancangan kesimpulan" terhadap keadaan senyatanya geliat dinamika seni rupa di negeri Urang Awak ini. Pameran ini mengikutkan hampir seluruh representasi kekuatan perupa senior dan yunior yang masih setia menetap, dididik dan berproses kreatif di Sum-Bar, nyaris tanpa pola seleksi yang ketat. Saya hanya menerapkan tiga hal penting dan cukup elementer yang menjadi titik dasar kurasi. Pertama, ihwal intensitas berkarya, yang saya artikulasikan dengan mencari karya paling baru (setahun terakhir) mereka yang masih dianggap atau menganggap diri sebagai perupa. Kedua, aspek pencapaian baru pada ranah estetik. Meski relatif akan bertumbukan dengan ihwal subyektivitas, setidaknya aspek ini bisa berpijak pada karya berkecenderungan baru yang melepaskan diri dari konservatifme sebagai parameter. Dan ketiga, saya mencoba merunut ihwal kemampuan seniman dalam mengkonstruksi dunia gagasan dalam karya. Pengalaman saya masuk keluar puluhan studio pribadi, rumah, lembaga kesenian di Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Kayutanam, Pariaman, Solok, Batusangkar, Sawahlunto membawa saya menyaksikan beragam realita kesenian dan praktek kesenimanan yang selama ini nyaris tak banyak diperbincangkan. Misalnya tentang pergulatan keseharian seniman keramik Body Dharma yang menetap di Kayutanam. Ia bersama istri dan 5 anaknya harus menyabung peruntungannya dengan berkarya keramik seni yang selalu sepi pasarnya. Dia berkarya terus-menerus tapi tidak diapresiasi dengan baik oleh publik Sum-Bar. Pameran tunggal tak punya sponsor, membuka artshop kecil pun tetap tidak dilirik pembeli. Memang nasib baik pernah berpihak padanya yang membawa Body hingga ke Australia Barat untuk pameran tunggal beberapa hari pada awal 90-an. Atau pameran di Jakarta 5 tahun silam. Sekarang, di rumah kontrakannya yang berimpitan dengan SLTP/SMU INS (dulu kesohor dengan nama Perguruan INS), anehnya Body ngebut berkarya tanpa perolehan finansial yang sepadan untuk menghidupi keluarganya secara layak. Tak jauh beda dengan pelukis Kamal Guci -- juga tinggal di kawasan Kayutanam-- yang masih setia membujang hingga di usia kepala empat. Kamal pernah bertahun-tahun menjadi pelukis model di pasar seni Ancol Jakarta, dan hingga kini tetap melukis dan melukis dengan tema runtuhnya kultur Minang. Tapi pasar tak cukup kuat menyedot tiap bentang kanvas pelukis otodidak ini. Kamal pernah ikut pameran bersama di Padang, dan karyanya pun menjadi satu-satunya lukisan yang terjual. Itupun karena walikota Padang "dipaksa" membeli karya Kamal untuk biaya perawatan kesehatan mental Kamal. Ada realitas lain yang bisa dibaca dengan perspektif berbeda. Idran Wakidi, anak pelukis senior almarhum Wakidi, masih dipandang sebagai pelukis kuat. Kekuatannya melukis landskap ranah Minang yang menjadi trade mark-nya. Ia mengadopsi penuh kecenderungan karya sang ayah. Secara sosial ekonomis, kehidupan Idran begitu layak. Selain melukis, Idran mengajar di Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP). Namun karyanya cenderung mapan tanpa banyak melakukan eksperimentasi visual dan gagasan. Kemapanan Idran sebagai dosen berbanding terbalik dengan sekelompok mahasiswanya. Di lingkungan mahasiswa seni rupa UNP ada gerombolan yang menamakan diri Kelompok Kantau yang masih merawat idealisme. Dengan mengontrak rumah sederhana di seputar kampus, mereka beraktivitas ala anak muda yang ditekan oleh kegelisahan kreatif. Ada diskusi ngalor-ngidul seputar seni, sesekali ada bir dan rokok Aceh (baca = ganja) yang memompa gairah kesenian mereka. Ada sedikit katalog pameran seni rupa yang diperoleh dari rekan seangkatanya yang menjadi pelukis profesional di Yogyakarta. Dan yang menarik, sesekali muncul karya baru yang mencoba melepaskan diri dari karya stereotip yang masih dibawa oleh dosen mereka. Demikian juga dengan kelompok kecil mahasiswa di Jurusan Kriya STSI Padang Panjang. Kelompok ini menyisakan waktu bergerilya melukis, selain membuat karya kriya yang dianggap terlalu banyak aturan. Meski secara kuantitas masih relatif sedikit, namun mereka mencoba bergerak secara laten memberi warna bagi akltivitas diri dan kampus mereka. Kebetulan kebanyakan dosen adalah alumnus FSR ISI Yogyakarta memberi banyak masukan dan ruang kreatif. Harapan untuk bisa lebih mengembangkan aktivitas seni rupa di Sum-Bar sebetulnya telah punya akar. Ada struktur pendidkan formal seni rupa, di tingkat SMU atau pun perguruan tinggi. Sejak lama sudah ada lembaga kesenian milik pemerintah. Kesadaran akan akar inilah yang tampak dibaca oleh mereka yang peduli. Kelahiran galeri seni rupa Sarasah pada tahun 2000 di Padang, kiranya embun segar bagi dinamika seni rupa di Sum-Bar. Pendiri sekaligus sang pemilik, Putri Reno Intan, tentu tak harus lebih dulu berhitung dengan soal kompensasi finansial. Proyek idealisme tampaknya menjadi kesadaran awal dengan mendirikan galeri senirupa. Apalagi di tengah masyarakat yang masih tak acuh dengan jagat seni rupa. Masih banyak realitas yang mengemuka saat saya mengunjungi aktivitas seni rupa di Sum-Bar. Namun saya hanya bisa memberikan asumsi yang bisa mengawali untuk memetakan persoalan seni rupa di Sum-Bar. Pertama, puritanisasi wacana. Tak banyak ditemukan pembaruan wacana yang berkembang di komunitas seni rupa Sum-Bar, selain ketatnya mereka -- terutama perupa senior -- merawat romantisme masa lalu yang tak lagi cukup fleksibel dan sensibel diterapkan dalam konteks kekinian. Perbincangan perihal karya lukis yang baik dan ideal masih berputar-putar pada lukisan naturalistik dan realistik. Atau kaligrafi nyaris tanpa inovasi kecuali oleh mereka yang pernah mengecap pendidikan formal kesenian di Yogyakarta. Kedua, dogmatisasi teknik. Masih bertautan dengan hal pertama, yakni pengartikulasian wacana yang mandek. Bagi banyak perupa di Sum-Bar, upaya pencapaian visual yang diejawantahkan pada kanvas masih cukup konvensional, belum eksploratif. Kalau toh sudah dilakukan oleh beberapa generasi muda, masih kental nuansa imitasi terhadap kecenderungan seniman Minang yang sekarang hijrah ke Yogyakarta. Ketiga, dominasi patronase. Terlihat dari pola relasi antara senior dan yunior, baik dalam relasi sosial maupun relasi struktural pada lembaga kesenian atau lembaga pendidikan kesenian. Ini berdampak pada out-put yang terlihat pada hampir tiap perhelatan pameran sebagai salah satu cerminnya. Sosok Wakidi masih kuat sebagai patron yang direproduksi oleh yuniornya dengan pola patron-klien. Keempat, lengangnya apresiasi. Bagi saya, bentuk apresiasi untuk konteks ini adalah "apresiasi kritis" dan "apresiasi pasar". Perupa atau masyarakat seni rupa di Sum-Bar belum cukup kuat terbentuk sehingga sistem jaringan yang mempertautkan mereka dengan masyarakat yang lebih luas belum terbangun. Seniman berbuat sendiri tanpa bisa menciptakan citra atas apa yang telah diperbuatnya, karena tak ada mediator pencitraannya. Demikian juga soal kolektor, nyaris sepi karena memang belum ada titik integral yang mempertautkan antara seniman dan pasar. Teks ini tak akan saya gulirkan menuju sebuah upaya solutif. Pemetaan masalah, meski masih dalam kerangka yang masih global, kiranya yang terlebih dulu saya kerjakan. Apa boleh buat, itulah penggalan realitas seni rupa Sumatra Barat yang barangkali juga merupakan penampang lain dari seni rupa Indonesia.*Kuss Indarto Sumber: http://www.cemetiartfoundation.org/indonesia/tetap/new_tripstory.html | ||
Berita OSIS Lainnya | ||