Kreativitas, Membuka Diri dan Mundurnya Idealisme
Oleh Muharyadi | ||
| ||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||
Frekwensi pameran pelukis asal Sumatera Barat di daerah maupun di pulau Jawa selama tahun 2008 dalam catatan dari berbagai agenda baik berlabel komunitas, kelompok maupun perorangan di ruang pameran milik pemerintah seperti Taman Budaya, Galeri dan Museum cendrung meningkat ditandai bermunculannya muka-muka baru dengan mayoritas kecendrungan realis minimalis yang kini sedang marak dalam era seni lukis moderen kemudian maraknya transaksi ”jual beli” lukisan merupakan rangkaian peristiwa dunia seni rupa yang terjadi dalam setahun terakhir. Tapi apakah ini lantas bisa kita anggap sebagai ”pertanda” atau ”penanda” bahwa dunia seni lukis kini tumbuh subur menggembirakan? Atau menjadi lahan subur yang menggiurkan bagi sebagian seniman karena nilai jualnya yang tinggi? Mungkin juga munculnya era baru sebagai pilihan dari banyak alternatif untuk membuka diri dari kerja lukis-melukis mengikuti trend di zamannya? Belum bisa kita jawab dengan pasti.
Demikian juga ketika kita dihadapkan pada persoalan mengamati, menilai, menimbang, menghayati, menganalisa, bahkan memberikan evaluasi terhadap sebuah hasil kesenian – seperti seni lukis – dari sudut proses kesenian sebagai bagian dari kebudayaan yang ada tentulah bukan pekerjaan ringan. Sebab mendiskripsikan banyak karya dalam wilayah penjelajahan kreativitas seniman baik dari struktur karya, struktur masyarakatnya, peran penyangga seperti kolektor, museum, galeri, media massa, kurator, pengamat maupun kritikus seni saling terkait satu dengan yang lain dan saling menunjang yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Baca Juga: Membangun Kehidupan Seni Rupa di Sumbar Guna mengungkap fenomena seni lukis dalam setahun terakhir paling tidak kita bisa menyidik rekaman visualisasi berbagai peristiwa ditengah-tengah masyarakat yang disiasati pelukis dipermukaan kanvas dalam bahasa rupa dan simbol. Namun begitu harus diakui seni lukis tidak selalu dapat dijadikan dokumen yang akurat, sebagaimana layaknya dunia forografi atau bukti sejarah tertulis lainnya. Tapi setidaknya bagi pelukis yang menghayati arti dan makna tahun 2008 secara aktualita dan emosional, maka penikmat akan dibimbing setidaknya untuk memahami dan menikmati apa yang direspon pelukis kepermukaan kanvas. Maka bila kita meneropong aktivitas seniman melalui karya dengan menyidik wilayah pergulatan kreativitas didukung hasil eksplanasi komprehensif dari sudut kacamata pelukis pada masing-masing karya, maka jelas tidak bisa dilepaskan dengan aspek-aspek budaya, ekonomi dan politik dan lainnya selama setahun terakhir.
Lihat satu diantara banyak karya Herisman berjudul Aborsi/cat minyak/135x135 cm/2008 dengan penggayaan/style surealis-dekoratif bertutur tentang aborsi. Sebuah peristiwa yang memalukan bahkan menjijikkan ditengah-tengah masyarakat apalagi dilihat dari budaya bangsa timur yang menganut paham religi tinggi. Kenapa aborsi bisa terjadi dan menggejala, apa ini perkara dekadensi moral atau lemahnya nilai-nilai religi dan budaya serta adat istiadat yang kita jalani? Keresahan ini pulalah yang dilontarkan Herisman melalui sapuan-sapuan kuasnya dalam bahasa simbol sebagai pilihan kerja lukis-melukis bagi pelukis yang telah puluhan kali berpameran dan menjadi finalis sejumlah even bergengsi di tanah air itu.
Sementara Zirwen Hazry pemenang utama Festival Seni Indonesia (FSI) Internasional II 2008 Yogyakarta melalui karya ”Menjaga Keseimbangan”/Akrilik-ballpoint/145x290cm/2007 merekonstruksi perumpamaan melalui sosok bocah mengenakan celana pendek dan kaki telanjang dipenuhi luka menganga dalam ayun langkah tangan dan kaki menjaga keseimbangan meniti tanggul satu demi satu diatas permukaan air mencapai tujuan keseberang harapan. Artinya dalam menentukan pilihan kedepan sebagian anak-anak berada pada posisi sulit menggapai masa depan, karena persoalan ekonomi dan pendidikan membuat mereka sulit menentukan pilihan.
Pelukis Melodia asal Sumani Solok, Sumatera Barat yang cukup kompetetif berkarya dan berpameran bahkan terpilih sebegai 5 (lima) pemenang utama Jakarta Art Awards 2008 melalui karyanya berjudul :”Undangan yang Tiada Henti dari Tanah Impian”/cat minyak/150x190cm,2008 bertutur tentang Jakarta sebagai tempat memikat yang mendambakan perubahan nasib. Pembangunan tidak merata menjadikan ibukota sebagai pusat ekonomi negara dimana terlalu banyak uang beredar, sementara kebijakan pemerintah sejak lama membuat pembangunan terlalu Jakarta sentris. Undangan mencapai kemakmuran tiada pernah henti, yang berhasil dan yang gagal hampir sama banyaknya, meski batas antara mimpi dan realitas sangatlah tipis, kedatangan mereka terus mengalir karena Jakarta adalah obsesi untuk ditaklukan seperti tersirat dalam karya Melodia yang kini bermukim di Yogyakarta itu.
Baca Juga: EMBRIO SENI RUPA INDONESIA ADA DI SUMATERA BARAT Pelukis Mislendri yang karyanya juga masuk nominasi pada FSI 2008 berjudul Mengusung Balon/cat minyak/100x100 cm/2008 secara simbolis mengetengahkan keprihatinannya terhadap fenomena janji-janji politik dewasa ini yang tidak berpihak terhadap orang banyak dan wong cilik, janji cuma tinggal janji balon yang diusung dan ditetapkan sebagai pemenang terpilih begitu berkuasa tak lagi melihat orang banyak dan wong cilik sebagai kekuatan dasar yang mendorong balon sampai ke puncak penguasa seperti diilustrasikan Mislendri dalam bahasa simbolis realis minimalis.
Dilain pihak pelukis Ardim Dt. Saripado pada karya terbarunya berjudul ”Kuda Hitam”/cat minyak/140x140 cm/2008 mencoba mengangkat isu global dengan memberi simbol kuda hitam sebagai simbol dari Barack Obama, presiden Amerika terpilih beberapa bulan lalu. Barack Obama yang disimbolkan sebagai orang kulit hitam pertama menjadi presiden pertama di AS merupakan figur kuat dan energik bak kuda hitam, banyak harapan, tantangan dan peluang yang digantungkan padanya, bukan saja berasal dari negara sendiri tetapi juga dunia global.
Beberapa ilustrasi diatas merupakan bagian kecil dari wilayah pergulatan kreativitas seniman asal Sumbar yang kita apresiasi dari berbagai aktivitas pameran dan festival yang digelar dalam setahun terakhir. Dari sini lantas kita bisa menduga bahwa, estetika yang berkembang dalam seni lukis selama setahun terakhir dalam menangkap fenomena masyarakat dan seisi alamnya, merupakan interaksi dialogis seniman dan masyarakat yang berada dalam era reformasi dan global yang penuh ketidakpastian seperti yang tersirat dalam bentuk bahasa simbol. Kadang disampaikan secara minimalis sebagai penyederhanaan bentuk yang dikemas secara artistik.
Mundurnya Idealisme?
Tak dapat dipungkiri dalam peta seni lukis Indonesia sejarah sejak lama turut mencatat bahwa Sumatera Barat pernah melahirkan tokoh-tokoh penting yang tertulis dalam tinta emas di tanah air perihal sejumlah tokoh penting seni lukis. Diantara tokoh itu terdapat sederetan nama seperti Wakidi, Oesman Effendi (OE), Zaini, Nashar, Baharuddin MS, Ici Tarmizi, Syamsul Bahar, HB. DT. Tumbijo dan beberapa nama lain yang pada dasarnya memberikan konstribusi dalam membentuk dan membangun seni lukis Indonesia. Pada umumnya pelukis-pelukis ini bermukim di Jawa, kecuali Wakidi asal Semarang, Jawa Tengah, Kelahiran Plaju Sumatera Selatan, 1879 yang hingga akhirnya hayatnya banyak menghabiskan waktu di Sumatera Barat, khususnya di Bukittinggi. Mereka juga dinilai teguh dalam pendirian, sikap dan idealisme dalam berkesenian, kongkritnya pikiran dan wilayah kreativitas mereka dalam memaknai kesenian dan kebudayaan menjadi sesuatu yang hidup, bermatabat yang akhirnya memuliakan manusia dan kebudayaannya.
Konsekwensi semua itu menjadikan salah satu kekayaan kesenian dan budaya dari Sumatera Barat berasal dari seni rupa terutama seni lukis sejak lama, mengingat banyaknya karya-karya seniman terus bergulir dengan seperangkat eksistensi dan kreativitas dalam ranah estetis yang lahir kepermukaan kanvas sejalan ruang dan waktu yang berlalu bahkan hingga sampai ke angkatan muda yang kini terus memperlihatkan eksistesinya ditengah-tengah berbagai isu global dalam kesenian.
Akan tetapi bila kita bicara jujur seperti yang kita cermati dalam beberapa tahun terakhir fenomena seni lukis dikalangan pelukis muda yang tumbuh bak cendawan, banyak kalangan pengamat jauh dari idealisme seperti yang dijelajahi pelukis pendahulu> Bahkan para kritisi da pengamat berpendapat bahwa seni lukis kini lebih cendrung individual bahkan instant. Orientasi pasar, kerja lukis melukis cepat bahkan kadang tanpa isian dan pesan moral yang jelas, pengaruh kolektor dan seni lukis mebomiing menjadi dominan dalam dunia seni lukis kita di tanah air, termasuk di Sumbar sebagai salah satu etalase seni lukis Indonesia sejak lama. Seni lukis kini lebih dekat kini sebagai pesona visual, enak dipandang dan laku di jual dan bisa mensejahterakan seniman dengan cepat dengan harga jual yang fantastis.
Disuatu sisi kondisi demikian menjadi sah-sah saja karena hak berkarya sepenuhnya ada pada seniman, namun pada sisi lain fenomena seni lukis yang dirasuki pengaruh global dan mengikuti trend pasar dengan mengenyampingkan idealisme berkesenian sesuai peradaban kebudayaan yang ada seyogyanya menjadi pertimbangan kerja lukis melukis. Namun demikian seni lukis kini yang kian menggejala dalam ranah moderen dan kontemporer adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari mata rantai sejarah seni lukis yang sejak lama hidup dan tumbuh subur di tanah air. ***
Muharyadi, Pendidik, Kurator dan Jurnalis tinggal di Padang | ||