Berita / Tokoh dan Seniman |
Menimbang Lukisan Konservasi Amrianis
Oleh Erianto Anas | ||
| ||
Konservasi | ||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||
Krisis lingkungan, ternyata tidak hanya menjadi perhatian para aktivis dan pencinta alam. Seorang pelukis ranah Minang, Amrianis, juga ikut mengangkat tema ini dalam lukisannya yang berjudul Konservasi. Pada kanvas berukuran 150 x 200 cm, Amrianis melukiskan pemandangan alam Lembah Anai tengah bertengger di atas segumpal awan putih. Kedua objek ini terhampar pada lantai dan latar belakang yang terlihat menyatu, tampak seperti papan atau kayu (kadang juga terlihat seperti bongkahan batu) dengan penampilan seratnya yang amat jelas. Kemudian tepat dibelakang objek ini tampak sepetak bidang berwarna gelap. Samar-samar di pinggir kanan bidang ini juga terlihat beberapa lembar papan/kayu. Namun secara keseluruhan bidang ini tetap kelihatan gelap. Sedangkan di bagian bawah sepanjang bidang kanvas melintang sebuah bidang dengan warna merah yang kuat. Lukisan ini kelihatan amat ganjil. Bagaimana mungkin sebuah objek pemandangan bisa bertengger di atas segumpal awan? Lantai dan latar belakang objek ini (papan-papan yang menyatu) membentuk kesan ruang atau hamparan yang sempit. Tetapi justru di dalam ruang sempit inilah pemandangan alamnya ditempatkan. Pemandangan alam yang lazimnya terhampar di cakrawala yang luas, pada lukisan ini justru dihadirkan dalam ruang kecil yang terbatas. Ini jelas bukan sebuah pemandangan biasa, melainkan justru sebuah pemiuhan realitas yang tentu saja tidak ada dalam kenyataan Setting cakrawala dan suasana lukisan ini tampaknya sudah bergeser dari kerangka realisme (seperti lukisan pemandangan biasa). Baik hutan, awan maupun objek-objek lainnya hadir dalam bentuk fragmen (potongan-potongan). Karakter dan plastisitas masing-masing objek masih digarap sedemikian rupa seperti layaknya teknik melukis gaya realis. Namun secara keseluruhan semua objeknya tidak lagi hadir dalam bentangan (persprektif) yang alami. Objek demi objek terlihat seperti potongan-potongan realitas yang kemudian ditata kembali dalam realitas baru, yaitu sebuah realitas yang kontradiktif, lucu dan penuh ironi.
Penggarapan dan penataan segala elemen estetisnya (bentuk, warna, komposisi) tampak sengaja digarap untuk menimbulkan kesan, citra, dan makna-makna tertentu. Sebagian bentuknya (terutama bentuk awan) kelihatan agak dekoratif. Warna masing-masing objek seakan tak ada ikatan yang menyatukannya secara keseluruhan. Awan putih yang tampak seperti salju dan hutan rimba lembah anai yang hijau segar misalnya, seolah tidak terpengaruh oleh warna sekitarnya. Apalagi bidang merah yang melintang di bagian bawah, terlihat warnanya sangat mencolok, seperti warna tube (warna asli yang belum dicampur). Semua ini jelas di luar alur dan kaidah-kaidah lukisan realis. Apalagi realitas yang digambarkan bukan lagi realitas objektif sehari-hari, melainkan realitas yang sudah di permainkan, di jungkir balikkan. Secara teknis lukisan ini seperti hendak mengawinkan 2 hal yang saling bergelantungan, yaitu antara keterampilan menggambar dengan kekuatan wacana (tema), sebuah ambisi ideal yang sering diabaikan sebagian pelukis yang tidak tahan melakukan studi dengan gigih dan cermat. Selain menampilkan sensasi visual lukisan ini sekaligus juga menimbulkan ketegangan simbolik (pemaknaan). Permainan warna antar objek yang agak kontras misalnya, ditambah posisi objek yang tepat di tengah bidang kanvas, membuat lukisan ini kelihatan amat fokus dan gamblang, seakan sengaja menggiring pengamatan mata pada objek utama tanpa hambatan. Ini jelas sebuah kesengajaan yang sudah diperhitungkan. Artinya antara kejutan visual dan pesan moral lukisan ini seakan sebuah mata rantai yang kait-berkait. Berawal dari kejutan artistik, lukisan ini kemudian melangkah pada tahap selanjutnya: menggiring, mengusik lalu memaksa kita untuk memikirkan apa gerangan semua ini? Dibalik permainan masing-masing objek dengan segala teknik dan penataannya seakan sedang bercokol sebuah skenario yang cukup menohok. Hutan dan papan (kayu) dalam lukisan ini bisa jadi amat simbolik. Di satu sisi hutan merupakan idiom dari sumber daya alam yang selalu dimanfaatkan oleh manusia. Di sisi lain, papan/kayu merupakan hasil pendayagunaan sumber daya alam itu sendiri. Amrianis seakan melihat laju pendayagunaan sumber daya alam ini akan tetap berlangsung dan tidak terelakkan. Cepat atau lambat berbagai sumber daya alam, terutama hutan-hutan hijau yang masih perawan, toh akhirnya juga akan habis dimamah oleh ekspansi pembangunan. Karena itu impian (idealisme) akan kelestarian lingkungan hanyalah sebuah ilusi belaka, tak lebih dari sebuah kerinduan akan masa silam. Fenomena ini digambarkan dengan hutan rimba lembah anai yang hanya mengapung di awan. Kemudian sepetak ruang gelap dibelakang objek ini, memberi kesan kedalaman yang samar tak berhingga, yang bisa berarti sebuah isyarat akan harapan masa depan yang tidak jelas.
Seperti biasa, judul lukisan jelas sangat membantu dalam mengamati sebuah lukisan yang sarat dengan simbol dan abstraksi. Judul lukisan ini, konservasi, merupakan sebuah istilah yang berarti pemeliharaan secara teratur agar tidak terjadi kerusakan (pengawetan). Dalam konteks lingkungan ini berarti sebuah usaha pelestarian terhadap lingkungan itu sendiri. Artinya judul lukisan ini hanya menyiratkan suatu deskripsi (gambaran umum) dari sebuah gerakan kaum ekologis (aktivis dan pencinta lingkungan). Namun di sisi lain, gambaran yang tampak pada lukisan justru memberi kesan sebuah sikap atau penilaian terhadap konservasi itu sendiri: betapa mustahilnya upaya pelestarian lingkungan itu, yang bisa juga diistilahkan dengan Ilusi Konservasi atau Utopia misalnya. Apakah ini sebuah kesenjangan atau kontradiksi antara judul dengan visualisasinya (penggambarannya)? Ketika dikonfirmasi, Amrianis mengakui bahwa judul lukisan ini memang bukan bermakna lurus, melainkan sebuah ironi, yaitu sindiran terhadap kaum ekologis itu sendiri, terutama ditujukan pada praktek konservasi yang sudah menyimpang. Meskipun ini masih bisa diperdebatkan, tetapi yang jelas begitulah bahasa rupa seorang Amrianis yang bertutur tentang krisis lingkungan. Secara semiotis (pemilihan tanda), idiom yang diangkat tampaknya sangat mengena, yang bisa jadi bukan lagi sekedar sindiran melainkan bisa terasa bagaikan sebuah tamparan bagi kaum ekologis. *** Lukisan ini merupakan salah satu dari 3 lukisan Amrianis yang di gelar di Gallery FPBS UNP Padang pada tanggal 10-12 Februari 2007 lalu, dalam rangka proses pengakurasian untuk Pameran Lukisan Perupa Sumbar yang akan diadakan di Semart art Gallery Malang akhir Maret 2007. Pengakurasian ini dilakukan oleh Mamannoor, seorang kritkus dan kurator Nasional dari Bandung. Dan lukisan ini terpilih sebagai salah satu karya yang lolos seleksi untuk mengikuti pameran tersebut, di samping beberapa lukisan lain dari 16 perupa Sumatera Barat lainnya. Biaro, 8 Maret 2007, Erianto Anas (Guru Seni Rupa SMK N 1 Ampek Angkek) *) SUMBER: SINGGALANG, 8 April 2007 | ||
Berita Tokoh dan Seniman Lainnya | ||
|