Seniman Antara Idealisme dan Pasar

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Erianto Anas
Senin, 07 Mei 2007 18:23:09 Klik: 7830

Ada pengalaman menarik seorang Mamannoor, kritikus dan kurator seni rupa Nasional, pada sebuah pameran seni lukis di sebuah kota pulau Jawa, dimana saat itu ia betindak sebagai kurator. Tepat pada hari pembukaan pameran, sebuah karya tiba-tiba ditawar oleh pengunjung, yang harga jualnya di atas 10 juta. Tetapi seniman pembuat karya itu ngotot tidak mau turun harga. Sampai pada acara penutupan pameran ternyata karya itu tidak terjual. Si seniman kemudian melapor dan memohon kepada Mamannoor. Dengan suara pelan dan memelas ia berucap: “Tolong dong Pak Maman. Gimana caranya deh. 2 juta juga boleh kok. Hitung-hitung buat ongkos pulang nih”.

Dalam versi lain Amrianis, seorang perupa Sumbar, juga pernah berujar: “Seniman yang  sangat kental idealismenya, tetapi kecewa ketika karyanya tidak terjual berarti itu seniman bohong!” Lalu bagaimana sebaiknya? “Ya … jangan munafik lah!” sambungnya.

 

Itulah sebagian kecil contoh sikap seniman (rupa) dalam menghadapi pasar.  Harga jual karya yang semula fantastis, ternyata bisa tiarap ketika situasi sudah mulai kritis. Idealisme yang begitu perkasa, ternyata bisa remuk ketika karyanya tidak terjual. Lalu di mana sesungguhnya idealisme itu bersembunyi? Dan bagaiamana wajahnya bila berhadapan dengan pasar?

 

Idealisme Seniman

 

Bila disingkap lebih dalam ternyata banyak hal tersembunyi di balik sikap seorang seniman, terutama bila menyangkut dengan pasar. Sebagian besar seniman tampak ogah-ogahan. Di satu sisi ia ingin dan senang karyanya terjual. Tetapi di sisi lain sikapnya acuh tak acuh. Sebagian mereka menarok harga terlalu fantastis, sehingga tidak proporsional dan sulit dijangkau pasar. Sebagian lain justru memasang tarif terlalu rendah, sehingga bisa menurunkan citra karya itu sendiri. Sebagian lain tidak berani mematok harga sendiri. Dan sebagian lain malah cendrung menarik diri, amat sensitif dan mencurigai pihak-pihak yang ingin mempublikasikan dan memasarkan karyanya.

 

Berbagai sikap dan perilaku tersebut tentu muncul bukan tanpa sebab. Paling tidak itu merupakan pantulan dari idealisme yang mereka anut, meskipun sebagian mereka tidak menyadarinya. Secara gamblang idealisme dimaksud bisa meliputi pendirian, dasar pandangan dan titik pijak seseorang dalam berkarya, dan akhirnya sikap mereka terhadap karya itu sendiri, terutama  dalam hubungannya dengan masyarakat (termasuk pasar). Beberapa kecendrungan atas idealisme ini dapat kita lihat sebagai berikut:

 

Pertama,  ada seniman yang  berpandangan bahwa idealisme itu sesuatu yang amat prinsip (kadang  juga sakral) yang tanpa itu seorang bisa digugat keabsahan kesenimananya. Tipologi idealisme ini seakan identik dengan slogan seni untuk seni. Seni tidak boleh ditunggangi oleh apapun, termasuk dari unsur komersial atau pasar. Kata laku, terjual, pasar, apalagi pemasaran terasa menggelikan, yang secara psikologis seakan melucuti iman berkesenian mereka, atau semacam  dosa kreativitas. Karya yang diusung ke pasar dinilai akan merusak kemurnian karyanya. Boleh dikatakan ini sebentuk idealisme yang paling kental, yang oleh pandangan lain bisa dinilai sebagai idealisme yang salah kaprah.

 

Kedua, ada seniman yang memaknai idealisme secara agak lunak, sebutlah idealisme yang moderat. Bagi mereka, pasar memang tidak bisa dielakkan, malah harus. Mereka setuju bahkan tidak enggan terlibat dalam  mempublikasikan dan mensiasati pasar. Lalu dimana letak idealisme itu? Mereka berprinsip bahwa idealisme itu bergayut dalam proses berkarya, bukan di luar karya. Itulah yang menentukan apakah seorang berkarya dengan idealisme atau tidak. Seorang yang mengaku seniman mesti bebas dan murni mengikuti suara hati ketika sedang berkarya. Mereka berkarya untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Artinya dosa besar ketika berkarya ia membayangkan selera pasar, sehingga karyanya tidak lagi otentik (orisinal). Tetapi begitu karya itu selesai, maka karya itu boleh meluncur kemana ia akan mengalir, bisa sebagai koleksi dan bisa dijual di pasaran. Bahkan tidak ada salahnya bila karya itu dikelola sebagaimana layaknya hukum dan managemen bisnis. Hal itu tidak mengurangi kemurniannya sebagai sebuah karya seni yang otentik. Karena toh proses kreatifnya sudah berlalu.

 

Ketiga, Seniman  yang berpendirian bahwa sebuah karya akhirnya memang untuk dijual, lain dari itu tidak. Membidik bahkan membuat karya sesuai selera pasar (termasuk pesanan) tidak menjadi masalah, malah dinilai sebagai kepekaan membaca situasi. Seniman tipologi ini biasanya sangat lentur dan kooperatif dengan pasar, yang oleh pandangan lain bisa dinilai sebagai pelacur seni, yang tidak miliki idealisme sama sekali.

 

Keempat, sebutlah idealisme Hipokrit (munafik). Istilah ini lebih mengacu pada watak dan prilaku seorang seniman saat berhadapan dengan pasar, ketimbang sebuah konsep dan sikap dalam berkarya. Dalam berkarya bisa jadi mereka masuk salah satu ketiga kategori di atas. Namun begitu besentuhan dengan dunia luar, apalagi pasar, maka sikapnya mulai mengambang, yang oleh pihak lain sulit ditebak. Lain di muka lain di belakang. Lain dimulut lain di hati.

 

Harus dicatat bahwa pemetaan keempat kategori ini hanyalah sebagai gambaran, bahwa dalam prakteknya idealisme itu muncul dengan wajah yang beragam. Meskipun di kalangan akademis-teoritis, bisa jadi ada sebentuk pakem idealisme yang baku, tetapi paling tidak, pemetaan berdasarkan pemandangan sehari-hari ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang bersentuhan secara praktik-langsung dengan seniman, terutama dalam hal ini pelaku pasar. 

 

Pasar Seni Rupa

 

Meskipun tidak semua pihak setuju, namun di level praktek, kenyataannya pasar seni rupa memang tidak bisa diabaikan.   Sejarah seni rupa penuh dihiasi dengan harga karya seniman maestro yang amat fantastis, dan itu menjadi aset, citra dan kebanggaan kebudayaan dunia. Bahkan belakangan ini salah satu ukuran sukses pameran seni rupa mulai ditambahkan dengan terjadinya penjualan karya, yang bagi peserta itu jelas sebuah prestasi yang amat membanggakan.

 

Artinya fakta sejarah menunjukkan bahwa karya seni dan pasar bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bambang Bujono dalam katalog ulang tahun ketiga Nadi Gallery (Jakarta) menulis bahwa tidak bisa dipungkiri keberadaan berbagai gallery telah ikut memompa nadi dunia seni rupa kita. Bahkan seorang kolektor seperti Oei Hong Djien pun ikut mempengaruhi pasar dan arah  seni rupa kita, seperti tergambar dari wawancara majalah seni rupa Identitas dengannya pada tahun 2004 lalu. Karena itu dalam hal ini, pandangan yang terlalu miring terhadap pelaku pasar seni (galeri, kolektor dan kolekdol) perlu dikaji ulang sebelum mengendap menjadi penilaian dan sikap yang baku.

 

Berbagai gallery dan sayembara seni rupa yang menjadi kebanggaan para seniman toh dibentuk dan dimiliki oleh mereka yang disebut sebagai pelaku pasar ini. Sebutlah misalnya kompetisi seni lukis Indofood art Awards yang dilakukan oleh Eva Riyanti Hutapea, Presdir PT. Indosood Sukses Makmur Tbk. Kemudian CP Open Biannalle oleh kolektor Tjian An Djie, Museum Art di Singapura.oleh kolektor Cahyadi Kumala. Selain itu bebeerapa buku tentang koleksi museum, gallery dan antologi seni juga diterbitkan oleh berbagai kolektor seperti Oei Hong Djien, Lim Siau Bok, Hermanto, Nugroho, Edi Handoyo dan masih banyak lagi. Karena itu sehubungan dengan ini Agus Dermawan T, kritikus Nasional,  dalam bukunya Bukit-bukit Perhatian menulis bahwa stigma seni rupa yang yang terlalu miring terhadap pasar harus dimusnahkan. Sudah saatnya seniman,  kritikus (kurator), gallery, dan kolektor saling bekerja sama.

 

Sebuah Perjumpaan

 

Di sisi lain, ketakjuban yang berlebihan terhadap pasar pun juga menjadi persoalan. Sebagian kritikus dan para akedmisi ikut meragukan  penetrasi pasar yang masuk terlalu jauh terhadap dunia seni rupa.  Apresisasi dan wacana kritikus/curator dan pengamat seni rupa yang berkompeten sekali pun seakan tidak berpengaruh kuat pada pasar yang dinilai meluncur tanpa acuan ini. Tetapi itulah realitas dunia seni rupa, yang penuh dinamika dan  gesekan yang sulit diperhitungkan.  Ekspresi berkesenian yang paling lantang sekalipun diragukan bisa membypass (memotong secara tiba-tiba) mekanisme pasar yang amat kompleks ini.

 

Agaknya diperlukan kejernihan pengamatan dan strategi budaya yang elegan untuk mengarungi kondisi ini. Hubungan yang harmonis antara seniman dan pasar perlu dibangun. Bagaimana pun mesti dicari titik temu yang kondusif. Karena sesungguhnya seniman dan pasar itu merupakan dua kata yang komplementer: berseberangan dari posisi tetapi saling membutuhkan. Selain memikirkan keuntungan, sudah selayaknya pelaku pasar seni juga memahami ada apa dibalik idealisme seniman. Begitu juga dengan seniman yang cendrung terhipnotis oleh dunia dan cara pandangnya sendiri, sudah saatnya membuka diri dan minat terhadap pasar itu sendiri (dalam artian yang representatif tentunya)

 

Biaro, 17 April 2007,

 Erianto Anas (Guru SMK N. 1 Ampek Angkek)

Sumber: Singgalang, Minggu, 6-5-2007

 
Berita Wawasan Seni Lainnya

Video Pilihan


SMKN 4 PADANG BEKERJA SAMA DENGAN TNI UNTUK MENCIPTAKAN ...

Upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ...

Cara Pengisian Data Siswa Baru SMKN 4 Padang

Saka Pandai Sikek ...

DIRGAHAYU SEKOLAHKU SSRI, SMSR, SMKN 4 PADANG YANG KE ...

MPLS SMKN 4 PADANG

YUK DAFTAR SEKARANG JUGA, SMKN 4 PADANG SEKOLAH PUSAT ...

Apa kata mereka ...
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test