Roh Lokal Dalam Kreativitas Seni Lukis Sumbar

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh Muharyadi
Jumat, 13 Mei 2005 11:38:02 Klik: 5815
Seperti yang sudah sering saya tulis dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir diberbagai kesempatan, baik melalui pengantar katalogus pameran di Sumbar maupun luar sumbar, maupun di harian ini, bahwa pertumbuhan dan perkembangan seni lukis sejak puluhan tahun silam bukan hadir begitu saja, tanpa diawali sejarah panjang yang mengakarinya. Selain Yogyakarta dan Bali, Sumbar sejak lama dikenal sebagai salah satu basis seni lukis Indonesia, cuma pertumbuhan dan perkembanganya tidak sepesat di pulau Jawa dan Bali.

Bila dilacak dalam catatan sejarah, baik melalui bukti tertulis maupun, karya-karya yang maupun wawancara dari sejumlah nara sumber yang layak dipercaya cendrung menyebutkan, seni lukis diketahui gejalanya sejak berdirinya Kweekschooll (1837) di Bukittinggi.

Di Kweekschool, Wakidi, pelukis Indonesia zamanMooi Indie, kelahiran Plaju, Sumsel (1890) mendalami pelajaran menggambar dan melukis (1903). Kedua orang tua Wakidi asal Semarang yang merantau ke Plaju sebagai buruh perminyakan memberi restu Wakidi di usia belasan tahun belajar di Kweekschool guna melanjutkan bakat menggambarnya sejak kecil.

Setamat Kweekschool, Wakidi, memperoleh tawaran menjadi guru menggambar. Diantara muridnya tercatat proklamator Bung Hatta dan pahlawan Abdul Haris Nasution. Selang beberapa waktu, Wakidi ditawari menjadi guru di INS Kayu Tanam, yang didirikan M. Syafei tahun 1926.

Di INS ia disukai dan disenangani puluhan bahkan ratusan muridnya. Padahal sistem pendidikan INS tidak memungkinkan menjadikan murid-muridnya sebagai seniman, karena di INS hanya menciptakan manusia Indonesia yang praktis dan mampu bekerja tangan.

Artinya, pendalaman seni lukis tidak diberikan secara mendasar. Yang ada sekedar ilmu dasar untuk dikembangkan di luar sekolah. Yang menarik saat itu, terdapat mitos ditengah-tengah masyarakat, bahwa jika seseorang ingin menjadi besar pergilah ke luar Sumbar, terutama Pulau Jawa untuk belajar dan mendalami seni lukis yang sesungguhnya.

Kolektivitas masyarakatpun tidak memberikan kemungkinan menentukan jalannya sendiri sesuai bakat ditengah-tengah masyarakat. Akibatnya anak berbakat sekalipun tidak mempunyai kemampuan mencatatkan namanya sebagai manusia pribadi besar dalam seni lukis. Kebanyakan murid-murid INS saat itu menjadi pelukis reklame, illustrator atau pekerja seni lainnya.

Dari kajian historiografi, Wakidi yang besar dalam seni lukis di Sumatera Tengah (1912) dan tokoh penting seni lukis Indonesia setelah Raden Saleh Bustamam sebenarnya bukanlah tokoh orang dalam. Tapi, Wakidi tetap saja tekun dan selalu memberikan motivasi, semangat dan dorongan kepada murid-muridnya. Sang guru tidak mengajarkan bagaimana jadi pelukis, melainkan menanamkan semangat, sikap, motivasi dan dorongan kreativitasnya ; agar bisa menggambar dan melukis dengan baik dan benar.

Anggapan murid hanya bisa menjadi pelukis reklame dan ilustrator secara perlahan mulai sirna. Diantara muridnya terdapat tokoh berkesinambungan dalam peta seni lukis nasional seperti Baharuddin MS, Syamsul Bahar, Mara Karma, Hasan Basri DT. Tumbijo, Montingo Busye, Zaini, Nashar, Amir Syarif, Arby Samah, Muslim Saleh, AA Navis, Mukhtar Jaos, Osmania dan lainnya.

Kemudian melalui muridnya, muncul organisasi Seniman Muda Indonesia (SEMI) di Bukittinggi tahun 1950-an dengan pendirinya AA. Navis dan Montingo Busye. Tahun 1960-an, muncul lembaga pendidikan formal jurusan seni rupa IKIP Padang (1963) serta SSRI Padang (1965) yang tahun 1977 berganti nama menjadi SMSR, tahun 1994 berubah lagi menjadi SMK Negeri 4 Padang.

Sebagai konsekwensi dari ketiga institusi pendidikan kesenian itu baik langsung maupun tidak memunculkan seniman dari kalangan tokoh muda seperti Arifin, A.Alin De, Nazar Ismail, Idran Wakidi, Syaiful Adnan, Rudolf G. Usman, Darvies Rasyidin, Yose Rizal, Arrmansyah Nizar, Nazar Ismail, Syahrizal, Yetmon Amir, Yunizar, Hamzah, Irvan M, Rudi Mantovani, Stevan Buana, Yanuar Ernawati, Alfi, Heriman Tojes, Amrianis, dan ratusan nama lain serta berbagai kelompok organisasi kesenimanan yang kini bertebaran di nusantara.

Penampakan periodesisasi seni lukis sejak Wakidi maupun murid-muridnya hingga ke angkatan muda sekarang adalah simbol seni lukis Sumbar ditengah-tengah seni lukis Indonesia. Kemudian apa yang dilalui pelukis dari pendekatan semiotika pluralistik, terdapat fenomena menarik muncul kepermukaan kanvas sebagai wahana komunikasi. Ada peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan.

Konsep trikotomi pada seni lukis yang selama ini digunakan peneliti dalam seni lukis, di Sumbar tentulah sangat dimungkinkan untuk melakukan hal yang sama meskipun dalam lukisan abstrak. Lihat lukisan Nashar dengan konsep 3-nonnya, Zaini. Osman Effendi dalam kecendrungan.

Namun dalam pengembaraan jelalajah kreativitas, walau tak bisa diukur secara ilmiah banyak pelukis tempo dulu menyerap bahasa utama kerja lukis-melukis yang menyuarakan roh lokal (lokal genius). Lihat sejumlah tokoh yang melahirkan karya-karya berbasis akar budaya yang dapat disidik dari problema yang diwacanakan. Ada peristiwa budaya yang terangkat kepermukaan, ada aktivitas kesenian, politik, sosial budaya dan banyak lagi.

***

Sekarang timbul pertanyaan, apa ada identitas daerah Sumbartsebagai simbol seni lukis di tanah air selama ini ? Sulit dijawab secara pasti seperti halnya kecendrungan yang ada di Bali atau Yogyakarta hingga memudahkan untuk membedakan identitas daerahnya ditengah-tengah seni lukis Indonesia.

Bila kita melacak seni lukis Sumbar sejak era Wakidi, murid-muridnya hingga ke tokoh-tokoh muda sekarang dalam penelusurannya tentulah harus dibantu data base pelukis, karya-karya yang ada, dimana ia sekarang, siapa kolektor yang pernah mengoleksi karya-karya dan lainnya.

Contoh ringan, peneliti, pengamat dan pakar seni lukis Indonesia, Prof. Soedarso SP memberikan ilustrasi dalam suatu seminar yang bertajuk Revolusi Indonesia Dalam Rekaman Seni Indonesia ditinjau dari kajian Semiotika di LIPI, Jakarta tahun 1995 menguraikan, bila kita menyaksikan lukisan pelukis Perancis Jacques Louid David (1748-1825) yang terpampang di museum Louvre Paris, maka kita akan menyaksikan sebuah peristiwa sejarah yang sangat menarik, walau ada sesuatu di dalamnya yang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.

Kata Soedarso, lukisan raksasa berukuran 5,18 X 9,29 meter itu rupayanya lukisan potret kelompok yang paling besar. Temanya tentang penobatan Napoleon sebagai Emperor tahun 1804. Namun ketika diminta berpose untuk didepan lukisan mendampingi puluhan pejabat lainnya, pelukis ini menolak dengan alasan bahwa nanti tidak akan hirau bagaimana aktualitas wajah dirinya. Menurutnya, yang penting orang-orang besar dalam sejarah itu harus dilukiskan sedemikian rupa sehingga penikmatnya dapat menangkap kebesarannya ?.

Secara tersirat dapat kita tangkap apa yang dituturkan Soedarso SP itu apa dan bagaimana seni lukis itu sesungguhnya. Bagaimana pula karya-karya lukis yang ada di Sumbar. Bagaimana pun melacak secara periodesisasi dibutuhkan kerja besar. Di Sumbar jangankan untuk melacak dan meneliti karya, sejumlah institusi yang ada jika ditanya dimana saja karya-karya besar yang pernah lahir dari tangan pelukis asal daerah ini sekarang dipajang, sulit untuk memperoleh jawaban pasti. Apalagi Sumbar diakui belum memiliki museum seni rupa refresentatif sebagai pusat informasi seni dan budaya sekaligus simbol kebanggan daerah sebagai salah satu basis seni lukis di tanah air.

Namun demikian tetap saja ada fenomena menarik perkembangan seni lukis beberapa tahun terakhir di Sumbar sebagai benang merah pergulatan seniman dalam wilayah kreativitas yang menjadi simbol eksistensi berseni lukis, ditambah lagi transfer ilmu seni lukis perguruan tinggi seni terkemuka di Indonesia terutama di pulau Jawa yang mereka gali dan turut mempengaruhinya, membuat seni lukis Sumbar makin menggejala disana-sini.

Sesungguhnya perbedaan seni lukis secara ringan di Sumbar sejak era Wakidi hingga kini, dapat disidik dalam beberapa hal, (1) Rekaman peristiwa yang diangkat pelukis kepermukaan kanvas, (2) Struktur masyarakat dan lingkungan sosial tempo dulu dan kini, (3) Pengaruh seni lukis barat atau moderen, (4) Akar kontinuitas seni lukis dulu dan kini, (5) Pergeseran nilai-nilai dan pengaruh globalisasi, (6) Kepekaan estetis dan artistik pelukis, masyarakat penyangga, galeri, museum, peranan media massa bahkan sampai ke kolektor. Semuanya terbungkus dalam perjalanan seni lukis itu sendiri. ***

Muharyadi, Guru Pembina di SMSR (SMK 4) Padang, Pelukis dan Jurnalis, kini berstatus Mahasiswa Pengkajian Seni "Fine Art"? Pascasarjana (S2) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Sumber : Harian Pagi Padang Ekspres, 24 April 2004

 
Berita Pameran Lainnya

Video Pilihan


SMK N 4 PADANG MENUJU KEMATANGAN FINANSIAL

PAMERAN INTERIOR DUA SEKOLAH PUSAT KEUNGGULAN RESMI ...

Cara memilih sekolah lanjutan pada PPDB Online Sumatera ...

SMKN 4 PADANG BEKERJA SAMA DENGAN TNI UNTUK MENCIPTAKAN ...

Multimedia SMK N 4 PADANG lounching film karya siswa ...

Masjid Tuo Kayu Jao - masjid tertua di Indonesia

Behind The Sound SURGA UNTUK MAMA

Profil SMKN 4 Padang 2014
Login
Username:

Password:

  Registrasi?
Advance
Selamat Datang :
Guest(s): 0
Member(s): 0
Total Online: 0
NISN
test